Jakarta: Penegakan hukum pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait kasus Penculikan Aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti-Semanggi 1998, Kasus Kerusuhan Mei 1998 seakan jalan di tempat. Padahal, negara ini memiliki sejumlah kebijakan yang dibuat untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ahmad Sajali mengatakan kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM bahkan sudah dibuat dua tahun setelah Presiden Kedua Indonesia Soeharto lengser. Yakni, mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sayangnya, aturan itu tidak pernah digunakan menyelesaiakan pelanggaran HAM 1998. Payung hukum itu baru digunakan pada sejumlah kasus pelangagran HAM, yaitu Tanjung Priok (1984), Timor Timur (Timur Leste), serta dua kasus pelanggaran HAM di Abepura dan Paniai.
"Jadi belum ada yang dipakai untuk proses peristiwa yang terjadi di era reformasi," kata Ahmad kepada Medcom.id, Minggu, 20 Mei 2023.
Asa penyelesaian kasus HAM 1998 pada 2009 melalui DPR. Lembaga legislatif itu mengeluarkan rekomendasi terkait penghilangan aktivis 98.
Rekomendasi terdiri dari empat poin. Yakni pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian aktivis yang hilang, rehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Namun, rekomendasi tersebut tidak seluruhnya dijalankan. Terutama rekomendasi pertama, yaitu pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
"Itu tapi belum ditindaklanjuti oleh Presiden di hari itu, SBY (Presiden Keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono), atau Presiden di hari ini, Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo)," ungkap dia.
Tak Ada Kemauan Politik
Ahmad menyampaikan kendala utama tidak adanya perkembangan penyelesaian pelanggaran HAM berat 98. Yakni, karena tidak ada kemauan politik.
Dia menyampaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat 98 berbeda dengan kasus pidana lain. Sebab, tidak murni ditangani berdasarkan hukum pidana.
"Proses hukum pelanggaran HAM itu memang sarat muatan sosial politik. Jadi selain ada proses penyelidikan dan penyidikan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, itu dia mensyratkan adanya rekomendasi dari DPR dan presiden," sebut dia.
"Nah, sayangnya kita tidak menjumpai kemauan politik kita berwujud rekomedasi DPR dan keputusan presiden terkait pengadilan HAM. padahal kalau ada kemauan tentu banyak jalan yang tersedia," imbuh dia.
Pemerintah melalui Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan sejumlah pembelaan mengapa penanganan pelanggaran HAM 98 jalan ditempat. Mahfud, kata dia, beralasan proses hukum menunggu rekomendasi DPR.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa rekomendasi di DPR jika kasus tersebut sudah masuk dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Sayangnya, kata Ahmad, proses penyidikan tersebut mandek di Kejaksaan Agung.
Padahal, peningkatan proses penyelidikan dan penyidikan ke rekomendasi DPR dinilai sangat mudah. Asal, ada kemauan politik dari Presiden Jokowi dan memerintahkan Kejaksaan Agung bekerja cepat menyelesaikan tugas penyidikan kasus pelanggaran HAM 98. Ditambah lagi, parlemen saat ini dikuasai partai anggota koalisi pemerintahan Jokowi.
"Harusnya sangat mudah bagi Jaksa Agung menyodorkan berkas penyidikan untuk akhirnya dinaikan tahapan ke proses rekomendasi DPR sehingga keputusan presiden untuk pengadilan HAM. sehingga ini (lambannya proses penyelesaian HAM 98) bukti nyata negara gak mau," ujar dia.
Sukar Menghukum Kawan Sendiri
Ahmad menduga tak adanya keinginan politik tersebut dikarenakan orang di lingkaran Jokowi. Yakni, orang yang berada di kemiliteran yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM 98.
"Karena tidak ada pengukuman dia (pihak bertanggung jawab) bisa eksis dan bikin partai dan berkoialisi dengan pemertiah, bahkan dikasih jabatan menteri dan lain ebagainya. Tentu kita melihat preisden jokowi sangat sulit," ungkap dia.
Hal itu sudah terlihat sejak periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Ada sejumlah pihak yang disebut bertanggung jawab pada pelanggaran HAM 98 justru berada di lingkaran Jokowi.
"Meski Prabowo (Prabowo Subianto) di posisi seberang (lawan Jokowi di Pilpres 2014), tapi kita lihat juga Wiranto, ada Hendroprioyono," sebut dia.
Wiranto yang merupakan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima TNI pada peristiwa 98 terjadi diangkat Jokowi menjadi Menko Polhukam pada 216. Saat ini, Wiranto menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Kemudian, Prabowo yang merupakan Pangkostrad saat peristiwa 98 terjadi bergabung mendukung pemerintahan Jokowi pada periode kedua. Prabowo diberikan posisi memimpin Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Ahmad menilai kondisi tersebut dinilai tidak mudah bagi Jokowi. Sebab, orang yang dinilai seharusnya bertanggung jawab pada pelanggaran HAM 98 justru berada di lingkaran kekuasaan saat ini.
"Tentu secara logika tidak ada proses hukum untuk kawan sendiri," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Penegakan hukum
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait kasus Penculikan Aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti-Semanggi 1998, Kasus Kerusuhan Mei 1998 seakan jalan di tempat. Padahal, negara ini memiliki sejumlah kebijakan yang dibuat untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ahmad Sajali mengatakan kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM bahkan sudah dibuat dua tahun setelah Presiden Kedua Indonesia Soeharto lengser. Yakni, mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
Sayangnya, aturan itu tidak pernah digunakan menyelesaiakan pelanggaran HAM 1998. Payung hukum itu baru digunakan pada sejumlah kasus pelangagran HAM, yaitu Tanjung Priok (1984), Timor Timur (Timur Leste), serta dua kasus pelanggaran HAM di Abepura dan
Paniai.
"Jadi belum ada yang dipakai untuk proses peristiwa yang terjadi di era reformasi," kata Ahmad kepada
Medcom.id, Minggu, 20 Mei 2023.
Asa penyelesaian kasus HAM 1998 pada 2009 melalui
DPR. Lembaga legislatif itu mengeluarkan rekomendasi terkait penghilangan aktivis 98.
Rekomendasi terdiri dari empat poin. Yakni pembentukan pengadilan HAM
ad hoc, pencarian aktivis yang hilang, rehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Namun, rekomendasi tersebut tidak seluruhnya dijalankan. Terutama rekomendasi pertama, yaitu pembentukan pengadilan HAM
ad hoc.
"Itu tapi belum ditindaklanjuti oleh Presiden di hari itu, SBY (Presiden Keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono), atau Presiden di hari ini, Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo)," ungkap dia.
Tak Ada Kemauan Politik
Ahmad menyampaikan kendala utama tidak adanya perkembangan penyelesaian pelanggaran HAM berat 98. Yakni, karena tidak ada kemauan politik.
Dia menyampaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat 98 berbeda dengan kasus pidana lain. Sebab, tidak murni ditangani berdasarkan hukum pidana.
"Proses hukum pelanggaran HAM itu memang sarat muatan sosial politik. Jadi selain ada proses penyelidikan dan penyidikan oleh Komnas HAM dan
Kejaksaan Agung, itu dia mensyratkan adanya rekomendasi dari DPR dan presiden," sebut dia.
"Nah, sayangnya kita tidak menjumpai kemauan politik kita berwujud rekomedasi DPR dan keputusan presiden terkait pengadilan HAM. padahal kalau ada kemauan tentu banyak jalan yang tersedia," imbuh dia.
Pemerintah melalui Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
Mahfud MD menyampaikan sejumlah pembelaan mengapa penanganan pelanggaran HAM 98 jalan ditempat. Mahfud, kata dia, beralasan proses hukum menunggu rekomendasi DPR.
Padahal,
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa rekomendasi di DPR jika kasus tersebut sudah masuk dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Sayangnya, kata Ahmad, proses penyidikan tersebut mandek di Kejaksaan Agung.
Padahal, peningkatan proses penyelidikan dan penyidikan ke rekomendasi DPR dinilai sangat mudah. Asal, ada kemauan politik dari Presiden
Jokowi dan memerintahkan Kejaksaan Agung bekerja cepat menyelesaikan tugas penyidikan kasus pelanggaran HAM 98. Ditambah lagi, parlemen saat ini dikuasai partai anggota koalisi pemerintahan Jokowi.
"Harusnya sangat mudah bagi Jaksa Agung menyodorkan berkas penyidikan untuk akhirnya dinaikan tahapan ke proses rekomendasi DPR sehingga keputusan presiden untuk pengadilan HAM. sehingga ini (lambannya proses penyelesaian HAM 98) bukti nyata negara gak mau," ujar dia.
Sukar Menghukum Kawan Sendiri
Ahmad menduga tak adanya keinginan politik tersebut dikarenakan orang di lingkaran Jokowi. Yakni, orang yang berada di kemiliteran yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM 98.
"Karena tidak ada pengukuman dia (pihak bertanggung jawab) bisa eksis dan bikin partai dan berkoialisi dengan pemertiah, bahkan dikasih jabatan menteri dan lain ebagainya. Tentu kita melihat preisden jokowi sangat sulit," ungkap dia.
Hal itu sudah terlihat sejak periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Ada sejumlah pihak yang disebut bertanggung jawab pada pelanggaran HAM 98 justru berada di lingkaran Jokowi.
"Meski Prabowo (Prabowo Subianto) di posisi seberang (lawan Jokowi di Pilpres 2014), tapi kita lihat juga Wiranto, ada Hendroprioyono," sebut dia.
Wiranto yang merupakan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima TNI pada peristiwa 98 terjadi diangkat Jokowi menjadi Menko Polhukam pada 216. Saat ini, Wiranto menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Kemudian, Prabowo yang merupakan Pangkostrad saat peristiwa 98 terjadi bergabung mendukung pemerintahan Jokowi pada periode kedua.
Prabowo diberikan posisi memimpin Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Ahmad menilai kondisi tersebut dinilai tidak mudah bagi Jokowi. Sebab, orang yang dinilai seharusnya bertanggung jawab pada pelanggaran HAM 98 justru berada di lingkaran kekuasaan saat ini.
"Tentu secara logika tidak ada proses hukum untuk kawan sendiri," ujar dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)