Jakarta: Presiden Joko Widodo sempat mengumbar janji bakal berusaha memulihkan hak-hak para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Namun, janji itu hanya di mulut saja.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ahmad Sajali mengatakan janji yang diucapkan Jokowi memang bersayap, yakni menyelesaikan secara berkeadilan. Tidak ada kata per kata akan menyelenggarakan pengadilan HAM berat masa lalu atau pengadilan HAM berat.
"Tetapi, kalau ada terminologi berkeadilan, tentu kita harus masuk dalam kerangka teori keadilan transisi, yang mana satu poin utama dan penting adalah pengungkapan kebenaran yang bisa dicapai lewat proses baik itu pengadilan HAM atau komisi kebenaran yang nanti dikaitkan dengan pengadilan HAM," ujar Sajali, kepada Medcom.id, Kamis, 18 Mei 2023.
Ada 12 kasus pelanggaran HAM yang diakui Presiden Jokowi telah terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut di antaranya terjadi saat Reformasi 1998, seperti peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999.
Tidak Bisa Damai-damai Saja
Dia pun menyoroti penyelesaian kasus HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurut dia, penyelesaian lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bisa dimaknai dengan damai-damai saja, rekonsiliasi, dan kembali seperti semula. Tapi, harus ditautkan dengan proses hukum yang ada. Dia mencontohkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ada di Afrika Selatan.
"Akan ada insentif dan sebagainya nanti kalau akhirnya semua pihak yang bersalah diberikan kesempatan untuk mengakui, dan akhirnya terungkap bahan-bahan evaluasi untuk memperbaiki institusi atau negara agar tidak terjadi keberulangan," ujar Sajali.
Penyelesaian Non-Yudisial Tak Cukup
Sajali menyampaikan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui non-yudisial seperti yang diputuskan pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, merupakan dimensi yang sangat minim terlihat.
"Jadi mereka sangat konsisten untuk tidak mau meminta maaf atas kesalahannya tentu itu tindakan yang tidak peka atau tidak sensitif terhadap keberadaan korban," kata dia.
Apalagi, lanjut dia, sebenarnya kebutuhan publik untuk memiliki aparatur TNI, Polri, atau pejabat di tataran pusat maupun daerah yang paham tentang HAM. Dan, berkomitmen tidak melanggar HAM warganya di masa depan.
Untuk mewujudkan itu, perlu ada aksi nyata dalam penegakan hukum pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Jadi tentu itu (penyelesaian non-yudisial) sangat tidak cukup dan tetap perlu ada penyelesaian lewat pengadilan," ucap dia.
Namun, dia mengingatkan sistem peradilannya juga harus benar-benar dikawal. Proses hukumnya harus menyentuh hingga pelaku utama.
"Pengadilannya pun harus dilihat, pengadilannya harus sungguh-sungguh, bukan seperti pengadilan di peristiwa Paniai, di peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Timor Timor, dan juga peristiwa Abepura, dan akhirnya banyak juga yang menilai pengadilan itu sengaja dibuat untuk gagal, karena tidak menyeret nama besar untuk dimintai pertanggungjawaban komando, dan tidak mengurai kesalahan-kesalahan yang bisa berujung pada pemidanaan terhadap orang-orang yang dibawa ke proses hukum," ujar dia.
25 Tahun Reformasi
Pada 21 Mei 2023, tepat 25 tahun pasca reformasi atau lengsernya Presiden Soeharto. Momen kejatuhan Presiden ke-2 RI itu dibarengi dengan berbagai peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat.
Seperti, Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998. Peristiwa ini menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya.
Selain itu, terjadi tindak penculikan pada sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa. Merujuk laporan KontraS pada 2017, sembilan korban penculikan berhasil ditemukan. Namun, 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang.
Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut. Hasilnya, Komnas HAM menemukan ada dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Namun hingga hampir 25 tahun, masalah tersebut belum ada penyelesaiannya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Presiden
Joko Widodo sempat mengumbar janji bakal berusaha memulihkan hak-hak para korban pelanggaran hak asasi manusia (
HAM) berat secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Namun, janji itu hanya di mulut saja.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ahmad Sajali mengatakan janji yang diucapkan Jokowi memang bersayap, yakni menyelesaikan secara berkeadilan. Tidak ada kata per kata akan menyelenggarakan pengadilan HAM berat masa lalu atau pengadilan HAM berat.
"Tetapi, kalau ada terminologi berkeadilan, tentu kita harus masuk dalam kerangka teori keadilan transisi, yang mana satu poin utama dan penting adalah pengungkapan kebenaran yang bisa dicapai lewat proses baik itu pengadilan HAM atau komisi kebenaran yang nanti dikaitkan dengan pengadilan HAM," ujar Sajali, kepada
Medcom.id, Kamis, 18 Mei 2023.
Ada 12 kasus pelanggaran HAM yang diakui Presiden Jokowi telah terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut di antaranya terjadi saat
Reformasi 1998, seperti peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999.
Tidak Bisa Damai-damai Saja
Dia pun menyoroti penyelesaian kasus HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurut dia, penyelesaian lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bisa dimaknai dengan damai-damai saja, rekonsiliasi, dan kembali seperti semula. Tapi, harus ditautkan dengan proses hukum yang ada. Dia mencontohkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ada di Afrika Selatan.
"Akan ada insentif dan sebagainya nanti kalau akhirnya semua pihak yang bersalah diberikan kesempatan untuk mengakui, dan akhirnya terungkap bahan-bahan evaluasi untuk memperbaiki institusi atau negara agar tidak terjadi keberulangan," ujar Sajali.
Penyelesaian Non-Yudisial Tak Cukup
Sajali menyampaikan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui non-yudisial seperti yang diputuskan pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, merupakan dimensi yang sangat minim terlihat.
"Jadi mereka sangat konsisten untuk tidak mau meminta maaf atas kesalahannya tentu itu tindakan yang tidak peka atau tidak sensitif terhadap keberadaan korban," kata dia.
Apalagi, lanjut dia, sebenarnya kebutuhan publik untuk memiliki aparatur TNI, Polri, atau pejabat di tataran pusat maupun daerah yang paham tentang HAM. Dan, berkomitmen tidak melanggar HAM warganya di masa depan.
Untuk mewujudkan itu, perlu ada aksi nyata dalam penegakan hukum pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Jadi tentu itu (penyelesaian non-yudisial) sangat tidak cukup dan tetap perlu ada penyelesaian lewat pengadilan," ucap dia.
Namun, dia mengingatkan sistem peradilannya juga harus benar-benar dikawal. Proses hukumnya harus menyentuh hingga pelaku utama.
"Pengadilannya pun harus dilihat, pengadilannya harus sungguh-sungguh, bukan seperti pengadilan di peristiwa Paniai, di peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Timor Timor, dan juga peristiwa Abepura, dan akhirnya banyak juga yang menilai pengadilan itu sengaja dibuat untuk gagal, karena tidak menyeret nama besar untuk dimintai pertanggungjawaban komando, dan tidak mengurai kesalahan-kesalahan yang bisa berujung pada pemidanaan terhadap orang-orang yang dibawa ke proses hukum," ujar dia.
25 Tahun Reformasi
Pada 21 Mei 2023, tepat 25 tahun pasca reformasi atau lengsernya Presiden Soeharto. Momen kejatuhan Presiden ke-2 RI itu dibarengi dengan berbagai peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat.
Seperti, Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998. Peristiwa ini menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya.
Selain itu, terjadi tindak penculikan pada sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa. Merujuk laporan KontraS pada 2017, sembilan korban penculikan berhasil ditemukan. Namun, 13 korban lainnya masih dinyatakan hilang.
Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut. Hasilnya, Komnas HAM menemukan ada dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Namun hingga hampir 25 tahun, masalah tersebut belum ada penyelesaiannya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)