Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras tindak kekerasan seksual yang dilakuka WM, 57, seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Batang, Jawa Tengah terhadap 25 santri perempuan. Perbuatan tersangka oleh dapat diancam hukuman maksimal.
“Saya mengecam keras setiap tindak kekerasan seksual, terlebih terjadi di ruang yang seharusnya aman dan nyaman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Orangtua mempercayakan anaknya dididik dalam sebuah lembaga pendidikan agar menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia, tetapi justru mendapat kekerasan dari oknum pendidiknya. Ini sangat memilukan dan kami menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual,” tegas Menteri PPPA Bintang Puspayoga, di Jakarta, Selasa, 18 April 2023.
Bintang berharap kasus kekerasan seksual ini diproses dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban. Berdasarkan hasil koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, korban kekerasan seksual sebanyak 25 anak, dengan rincian 21 anak menjadi korban persetubuhan dan empat anak korban pencabulan yang diduga terjadi sejak 2019–2023.
"Pelaku layak dihukum seberat-beratnya dan harus mendapat hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Bintang.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, pada pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) terduga pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar. Selain itu, dapat dikenakan pidana tambahan berupa tindakan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Menteri PPPA menjelaskan korban berhak mendapat resitusi, berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) jo UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Restitusi, Kompensasi, Bantuan Saksi, dan Korban jo PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Dalam UU TPKS, Pasal 30 Ayat (1) menyatakan Korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pada Ayat (2) menyatakan ganti kerugian tersebut berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat TPKS; penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat TPKS.
Pihaknya terus berkoordinasi dengan DP3AKB Provinsi Jawa Tengah; Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Batang; serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Batang untuk memastikan korban mendapat penanganan psikis yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya.
“KemenPPPA akan terus memastikan para korban mendapatkan perlindungan dan rasa aman serta proses pendidikan para santri tidak terbengkalai,” kata dia.
Bintang mendorong seluruh pihak yang dekat dengan lingkungan korban dapat membantu pemulihan. Serta diharapkan tidak memberi stigma negatif kepada para korban. (Dinda Shabrina)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras tindak
kekerasan seksual yang dilakuka WM, 57, seorang pengasuh pondok pesantren (
ponpes) di Batang, Jawa Tengah terhadap 25 santri perempuan. Perbuatan tersangka oleh dapat diancam hukuman maksimal.
“Saya mengecam keras setiap tindak kekerasan seksual, terlebih terjadi di ruang yang seharusnya aman dan nyaman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Orangtua mempercayakan anaknya dididik dalam sebuah lembaga pendidikan agar menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia, tetapi justru mendapat kekerasan dari oknum pendidiknya. Ini sangat memilukan dan kami menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual,” tegas Menteri PPPA Bintang Puspayoga, di Jakarta, Selasa, 18 April 2023.
Bintang berharap kasus kekerasan seksual ini diproses dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban. Berdasarkan hasil koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, korban kekerasan seksual sebanyak 25 anak, dengan rincian 21 anak menjadi korban persetubuhan dan empat anak korban pencabulan yang diduga terjadi sejak 2019–2023.
"Pelaku layak dihukum seberat-beratnya dan harus mendapat hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Bintang.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU, pada pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) terduga pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp 5 miliar. Selain itu, dapat dikenakan pidana tambahan berupa tindakan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Menteri PPPA menjelaskan korban berhak mendapat resitusi, berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) jo UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Restitusi, Kompensasi, Bantuan Saksi, dan Korban jo PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Dalam UU TPKS, Pasal 30 Ayat (1) menyatakan Korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pada Ayat (2) menyatakan ganti kerugian tersebut berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat TPKS; penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat TPKS.
Pihaknya terus berkoordinasi dengan DP3AKB Provinsi Jawa Tengah; Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Batang; serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Batang untuk memastikan korban mendapat penanganan psikis yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya.
“KemenPPPA akan terus memastikan para korban mendapatkan perlindungan dan rasa aman serta proses pendidikan para santri tidak terbengkalai,” kata dia.
Bintang mendorong seluruh pihak yang dekat dengan lingkungan korban dapat membantu pemulihan. Serta diharapkan tidak memberi stigma negatif kepada para korban.
(Dinda Shabrina)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)