medcom.id, Jakarta: Jelang siang pada 1973, keberanian di benak Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdulaziz tiba-tiba menyeruak. Ihwal negerinya yang kaya minyak, tak rela jika rakyatnya terus-terusan cuma bisa jadi penonton.
Sasarannya; Arabian American Oil Company alias Aramco. Perusahaan minyak asal Amerika Serikat (AS) itu memang sudah lama menggulung untung. Tapi Arab Saudi sebagai tuan rumah, hanya mendapat 25 persen bagian saja.
Kilas balik
Bermula pada Mei 1930, kongsi dagang perminyakan asal Paman Sam, Standard Oil of California (Socal) mampir ke Arab Saudi. Perusahaan itu, menyodorkan kontrak monopoli migas kepada Pemerintah Kerajaan yang kala itu masih di bawah kendali Abdulazis, ayahanda Raja Faisal.
Kedatangan AS bukan tanpa pertimbangan. Kondisi Arab Saudi memang dalam keadaan kolaps. Soal minyak, Saudi tahu. Tapi untuk mengebor sumur-sumur tanpa adanya dukungan modal yang besar, sama saja bunuh diri.
AS menang. Raja Abdulaziz menandatangani kontrak. Tapi nahasnya, tiga tahun pertama, beberapa proyek pengeboran yang dilakukan dibilang gagal. Tak menemukan apa-apa.
Modal telanjur banyak keluar, pikir Socal. Sudah kepalang tanggung, mereka pun menggandeng Texas Oil dengan menyerahkan 50% dari konsesi yang dimilikinya. Konsekuensi berikutnya, nama perusahaan itu pun harus diubah. Maka hadirlah, California Standard Oil Company (Cosac) pada 1938.
Tak sia-sia, juga tak butuh waktu lama, perusahaan patungan itu akhirnya menemukan apa yang mereka cari. Yang paling besar, terletak di Kota Dhahran bagian utara. Disusul dengan penemuan sumur-sumur baru hingga berhasil memproduksi minyak 1.500 barel per hari.
Cosac makin percaya diri dalam melakukan monopoli minyak di Arab Saudi. Hanya saja, nama korporat itu dinilai tak lagi selaras dengan tren di pasar global. Atas alasan itu, pada 1944 perusahaan itu bermetamorfosa menjadi Arabian American Oil Company, disingkat Aramco. Nama baru itu tak lahir sendirian, kucuran modal yang besar kali ini turut disumbang Standard Oil of New Jersey, juga Socony-Vacuum.
Di balik kegembiraan AS, perasaan Putra Mahkota, Faisal bin Abdulaziz makin tak keruan. Ia berpikir, apa lagi yang mesti ditakuti, lagi pula sumur-sumur sudah ditemukan.
Nasionalisasi
Banyak hal yang membuat Faisal merasa kesal kepada Aramco. Selain bagian yang kecil, tak juga ada iktikad baik Aramco untuk alih teknologi. Apalagi memberikan perhatian pada nasib masyarakat lokal. Fakta terparah ditunjukkan pada 1953, cuma ada 11 orang warga Saudi yang mendapat kesempatan bekerja di perusahaan minyak yang tengah naik daun itu.
Bersama ayahnya, Faisal memanfaatkan isu-isu antikolonial yang memang tengah menghangat. Faisal mengancam Aramco agar bisa menyumbang lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat Arab Saudi.
Raja Faisal bin Abdulaziz mengunjungi Indonesia pada 1970/Sumber Foto: Soeharto.co
Setelah naik tahta pada 2 November 1964, kritik dan ancaman Raja Faisal kepada Aramco kian menjadi. Puncaknya, pada 1973, di saat AS terang-terangan mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Bola panas terus ia gelindingkan hingga Aramco pun menyerahkan kepemilikan sahamnya lebih besar. Tak tanggung-tanggung, sampai 60%.
Musuh tak sedarah, biasa. Tapi serangan lawan serumah, kerap tak terterka. Pada 1975, berita kematian Raja Faisal pun mengejutkan seantero jagat. Ia ditikam keponakannya sendiri, Faisal bin Musaid, yang baru saja pulang dari Paman Sam.
Usai kepergian Raja Faisal, Aramco bergerak makin bebas dan lincah. Produksinya meningkat hingga 3 miliar barel per tahun. Fakta ini, menjadikan pengganti Raja Faisal, Khalid bin Abdulaziz merasa memiliki beban moral meneruskan cita-cita saudaranya.
Pekerjaan rumah Raja Khalid yang tinggal selangkah itu pun akhirnya tergapai juga. Pada November 1988, Kerajaan Arab Saudi memutuskan melakukan nasionalisasi 100% atas hak konsesi, produksi, dan segala fasilitas Aramco.
Pada 1988, Pemerintah Kerajaan menampilkan nama baru menjadi Saudi Arabian Oil Company atau Saudi Aramco. Sekaligus menandakan perubahan wujud perusahaan dengan nilai tertinggi itu sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN).
Aramco kini
Sesekali naik, adakalanya ambruk. Itu pula yang berlaku pada harga minyak dunia. Pada 2014, harga minyak merosot drastis. Hal itu menjadikan Aramco defisit lebih dari USD160 miliar dan harus kehilangan sebagian subsidi dari Pemerintah Kerajaan.
Pada 2015, anggaran negara gurun itu defisit hingga SR367 miliar atau Rp1.372 triliun. Jumlah itu setara 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Arab Saudi.
Memang, Pemerintah Saudi sangat bergantung pada penjualan minyak untuk pendapatan. Pada 2016, total proyek pendapatan itu menyusut menjadi SR528 miliar atau USD141 miliar, alias kurang dari setengah dari apa yang dikumpulkan pada 2013.
Rencana menjual hingga nyaris separuh dari saham Aramco pun kemudian menyebar. Salah satunya, sebagai mana dilaporkan al-Eqtisadiah, 49% saham akan dijual dalam waktu sepuluh tahun. Surat kabar berbasis di Riyadh itu mengutip seorang pejabat senior pemerintah yang enggan disebutkan identitasnya.
Raja berikutnya, Salman bin Abdulaziz juga tak tinggal diam. Keterpurukan secara ekonomi di negaranya ia ikhtiari dengan berkeliling ke beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud (kiri) melambaikan tangan saat kunjungan kenegaraan, di beranda Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/3)/ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Dalam lawatan itu, konon Raja Salman menawarkan 5% sahamnya melalui penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Diperkirakan penjualan saham itu bisa meraup USD100 miliar.
Istilahnya, beda generasi beda cara. Jika dulu Raja Faisal berjuang merebut, kini Salman melepas. Ia mencoba menepis mitos bahwa minyak adalah satu-satunya barang yang bisa menentukan hidup mati negara Arab.
medcom.id, Jakarta: Jelang siang pada 1973, keberanian di benak Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdulaziz tiba-tiba menyeruak. Ihwal negerinya yang kaya minyak, tak rela jika rakyatnya terus-terusan cuma bisa jadi penonton.
Sasarannya; Arabian American Oil Company alias Aramco. Perusahaan minyak asal Amerika Serikat (AS) itu memang sudah lama menggulung untung. Tapi Arab Saudi sebagai tuan rumah, hanya mendapat 25 persen bagian saja.
Kilas balik
Bermula pada Mei 1930, kongsi dagang perminyakan asal Paman Sam, Standard Oil of California (Socal) mampir ke Arab Saudi. Perusahaan itu, menyodorkan kontrak monopoli migas kepada Pemerintah Kerajaan yang kala itu masih di bawah kendali Abdulazis, ayahanda Raja Faisal.
Kedatangan AS bukan tanpa pertimbangan. Kondisi Arab Saudi memang dalam keadaan kolaps. Soal minyak, Saudi tahu. Tapi untuk mengebor sumur-sumur tanpa adanya dukungan modal yang besar, sama saja bunuh diri.
AS menang. Raja Abdulaziz menandatangani kontrak. Tapi nahasnya, tiga tahun pertama, beberapa proyek pengeboran yang dilakukan dibilang gagal. Tak menemukan apa-apa.
Modal telanjur banyak keluar, pikir Socal. Sudah kepalang tanggung, mereka pun menggandeng Texas Oil dengan menyerahkan 50% dari konsesi yang dimilikinya. Konsekuensi berikutnya, nama perusahaan itu pun harus diubah. Maka hadirlah, California Standard Oil Company (Cosac) pada 1938.
Tak sia-sia, juga tak butuh waktu lama, perusahaan patungan itu akhirnya menemukan apa yang mereka cari. Yang paling besar, terletak di Kota Dhahran bagian utara. Disusul dengan penemuan sumur-sumur baru hingga berhasil memproduksi minyak 1.500 barel per hari.
Cosac makin percaya diri dalam melakukan monopoli minyak di Arab Saudi. Hanya saja, nama korporat itu dinilai tak lagi selaras dengan tren di pasar global. Atas alasan itu, pada 1944 perusahaan itu bermetamorfosa menjadi Arabian American Oil Company, disingkat Aramco. Nama baru itu tak lahir sendirian, kucuran modal yang besar kali ini turut disumbang Standard Oil of New Jersey, juga Socony-Vacuum.
Di balik kegembiraan AS, perasaan Putra Mahkota, Faisal bin Abdulaziz makin tak keruan. Ia berpikir, apa lagi yang mesti ditakuti, lagi pula sumur-sumur sudah ditemukan.
Nasionalisasi
Banyak hal yang membuat Faisal merasa kesal kepada Aramco. Selain bagian yang kecil, tak juga ada iktikad baik Aramco untuk alih teknologi. Apalagi memberikan perhatian pada nasib masyarakat lokal. Fakta terparah ditunjukkan pada 1953, cuma ada 11 orang warga Saudi yang mendapat kesempatan bekerja di perusahaan minyak yang tengah naik daun itu.
Bersama ayahnya, Faisal memanfaatkan isu-isu antikolonial yang memang tengah menghangat. Faisal mengancam Aramco agar bisa menyumbang lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat Arab Saudi.
Raja Faisal bin Abdulaziz mengunjungi Indonesia pada 1970/Sumber Foto: Soeharto.co
Setelah naik tahta pada 2 November 1964, kritik dan ancaman Raja Faisal kepada Aramco kian menjadi. Puncaknya, pada 1973, di saat AS terang-terangan mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Bola panas terus ia gelindingkan hingga Aramco pun menyerahkan kepemilikan sahamnya lebih besar. Tak tanggung-tanggung, sampai 60%.
Musuh tak sedarah, biasa. Tapi serangan lawan serumah, kerap tak terterka. Pada 1975, berita kematian Raja Faisal pun mengejutkan seantero jagat. Ia ditikam keponakannya sendiri, Faisal bin Musaid, yang baru saja pulang dari Paman Sam.
Usai kepergian Raja Faisal, Aramco bergerak makin bebas dan lincah. Produksinya meningkat hingga 3 miliar barel per tahun. Fakta ini, menjadikan pengganti Raja Faisal, Khalid bin Abdulaziz merasa memiliki beban moral meneruskan cita-cita saudaranya.
Pekerjaan rumah Raja Khalid yang tinggal selangkah itu pun akhirnya tergapai juga. Pada November 1988, Kerajaan Arab Saudi memutuskan melakukan nasionalisasi 100% atas hak konsesi, produksi, dan segala fasilitas Aramco.
Pada 1988, Pemerintah Kerajaan menampilkan nama baru menjadi Saudi Arabian Oil Company atau Saudi Aramco. Sekaligus menandakan perubahan wujud perusahaan dengan nilai tertinggi itu sebagai sebuah badan usaha milik negara (BUMN).
Aramco kini
Sesekali naik, adakalanya ambruk. Itu pula yang berlaku pada harga minyak dunia. Pada 2014, harga minyak merosot drastis. Hal itu menjadikan Aramco defisit lebih dari USD160 miliar dan harus kehilangan sebagian subsidi dari Pemerintah Kerajaan.
Pada 2015, anggaran negara gurun itu defisit hingga SR367 miliar atau Rp1.372 triliun. Jumlah itu setara 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Arab Saudi.
Memang, Pemerintah Saudi sangat bergantung pada penjualan minyak untuk pendapatan. Pada 2016, total proyek pendapatan itu menyusut menjadi SR528 miliar atau USD141 miliar, alias kurang dari setengah dari apa yang dikumpulkan pada 2013.
Rencana menjual hingga nyaris separuh dari saham Aramco pun kemudian menyebar. Salah satunya, sebagai mana dilaporkan
al-Eqtisadiah, 49% saham akan dijual dalam waktu sepuluh tahun. Surat kabar berbasis di Riyadh itu mengutip seorang pejabat senior pemerintah yang enggan disebutkan identitasnya.
Raja berikutnya, Salman bin Abdulaziz juga tak tinggal diam. Keterpurukan secara ekonomi di negaranya ia ikhtiari dengan berkeliling ke beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud (kiri) melambaikan tangan saat kunjungan kenegaraan, di beranda Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/3)/ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Dalam lawatan itu, konon Raja Salman menawarkan 5% sahamnya melalui penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Diperkirakan penjualan saham itu bisa meraup USD100 miliar.
Istilahnya, beda generasi beda cara. Jika dulu Raja Faisal berjuang merebut, kini Salman melepas. Ia mencoba menepis mitos bahwa minyak adalah satu-satunya barang yang bisa menentukan hidup mati negara Arab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)