medcom.id, Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara dinilai tidak serius merevitalisasi industri gula dalam negeri. Pasalnya, mesin pabrik yang sudah uzur hingga kini masih dipertahankan.
Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia APTRI, M. Nur Khabsyin, mengatakan, pabrik gula yang sudah tidak memadai itu membuat rendemen gula menjadi rendah. Hasil panen pasokan tebu petani seluruh Indonesia berada pada rata-rata 6,5 – 7,5 persen dengan produksi rata-rata 60 - 70 ton/hektare.
"Rendemen rendah disebabkan mesin pabrik gula yang sudah tua," kata Nur saat melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara, Senin 28 Agustus 2017.
Baca: Petani Tebu Indonesia Tolak PPN Gula Petani
Nur menuturkan, pihaknya minta pabrik gula milik BUMN yang sudah tua direvitalisasi total. Menurutnya, petani tebu keberatan dengan adanya penutupan pabrik gula sebelum didirikan pabrik gula yang baru.
"BUMN tidak mampu untuk merevitalisasi atau mendirikan pabrik gula baru, maka berikan kesempatan swasta nasional untuk bekerjasama dengan BUMN mewujudkan swa sembada gula," ujarnya.
Kinerja BUMN dianggap tidak maksimal dan profesional. Nur menilai, hasil revitalisasi pabrik gula milik BUMN yang semula digembar gemborkan hingga saat ini belum terwujud.
Baca: Penetapan HET Gula Rp12.500 per Kg Memberatkan Petani
"Tidak ada hasil yang berarti, rendemen tetap saja rendah. Padahal, ketika tebu petani digiling di pabrik gula swasta, rendemennya tinggi, petani yang dirugikan telah kehilangan pendapatan," ujarnya.
Nur menuntut pemerintah memberikan kompensasi rendemen minimal 8,5 persen. Hal tersebut, kata dia, sesuai janji yang diucapkan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 2016.
"Menteri BUMN berjanji memberikan jaminan rendemen minimal 8,5 persen kepada petani tebu sebagai konpensasi impor raw sugar 381.000 ton untuk BUMN ( PTPN, RNI, Bulog). Sampai saat ini janji itu tidak tidak pernah ditepati," kata Nur.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/nN9Vz3jb" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara dinilai tidak serius merevitalisasi industri gula dalam negeri. Pasalnya, mesin pabrik yang sudah uzur hingga kini masih dipertahankan.
Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia APTRI, M. Nur Khabsyin, mengatakan, pabrik gula yang sudah tidak memadai itu membuat rendemen gula menjadi rendah. Hasil panen pasokan tebu petani seluruh Indonesia berada pada rata-rata 6,5 – 7,5 persen dengan produksi rata-rata 60 - 70 ton/hektare.
"Rendemen rendah disebabkan mesin pabrik gula yang sudah tua," kata Nur saat melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara, Senin 28 Agustus 2017.
Baca:
Petani Tebu Indonesia Tolak PPN Gula Petani
Nur menuturkan, pihaknya minta pabrik gula milik BUMN yang sudah tua direvitalisasi total. Menurutnya, petani tebu keberatan dengan adanya penutupan pabrik gula sebelum didirikan pabrik gula yang baru.
"BUMN tidak mampu untuk merevitalisasi atau mendirikan pabrik gula baru, maka berikan kesempatan swasta nasional untuk bekerjasama dengan BUMN mewujudkan swa sembada gula," ujarnya.
Kinerja BUMN dianggap tidak maksimal dan profesional. Nur menilai, hasil revitalisasi pabrik gula milik BUMN yang semula digembar gemborkan hingga saat ini belum terwujud.
Baca:
Penetapan HET Gula Rp12.500 per Kg Memberatkan Petani
"Tidak ada hasil yang berarti, rendemen tetap saja rendah. Padahal, ketika tebu petani digiling di pabrik gula swasta, rendemennya tinggi, petani yang dirugikan telah kehilangan pendapatan," ujarnya.
Nur menuntut pemerintah memberikan kompensasi rendemen minimal 8,5 persen. Hal tersebut, kata dia, sesuai janji yang diucapkan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 2016.
"Menteri BUMN berjanji memberikan jaminan rendemen minimal 8,5 persen kepada petani tebu sebagai konpensasi impor raw sugar 381.000 ton untuk BUMN ( PTPN, RNI, Bulog). Sampai saat ini janji itu tidak tidak pernah ditepati," kata Nur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)