Bandung: Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Ditjen PFM Kemensos) menggelar rapat evaluasi penyaluran bantuan sosial 2018 di Bandung, Jawa Barat, pada 6-8 Desember. Hal itu dilakukan demi mewujudkan 6T dalam menyalurkan bantuan.
6T yang dimaksud ialah Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Waktu, Tepat Kualitas, Tepat Harga, dan Tepat Administrasi.
Dirjen PFM Kemensos Andi Dulung menjelaskan rapat evaluasi diikuti oleh pemerintah daerah di wilayah III, yaitu Papua, Maluku, Sulawesi, dan Jawa Timur. Diharapkan, kegiatan tersebut meningkatkan kualitas penyaluran bantuan.
"Kita kumpulkan selama tiga hari. Mereka membuat suatu kesimpulan, menceritakan masalah yang dihadapi, kemudian dievaluasi semuanya," kata Andi, usai menutup rapat evaluasi di Hotel Bidakara Savoy, Bandung, Jawa Barat, Jumat, 7 Desember 2018.
Beberapa permasalahan yang disampaikan pada rapat tersebut yaitu terkait biaya distribusi beras sejahtera (Rastra) dari titik distribusi hingga pembagian. Namun, Andi menilai bahwa permasalahan tersebut sudah bukan lagi menjadi kendala. Sebab, pemerintah menargetkan Rastra akan dialihkan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
"Kita ingin Januari-Februari 2019 sudah tidak ada lagi Rastra. Semua berubah menjadi BPNT," ucap Andi.
Andi mengingatkan agar semua instrumen penting peralihan dipersiapkan dengan baik, yaitu data, keberadaan e-Warung, dan semangat pemerintah daerah dalam mewujudkan penyaluran bantuan menjadi non tunai pada 2019.
"Kami optimistis, pada April 2019 InsyaAllah semuanya berubah menjadi BPNT. Ini model lebih mudah, mencapai 6T lebih gampang daripada Rastra," ujarnya.
Dirjen PFM Kemensos Andi Dulung (Foto:Medcom.id/Anggi Tondi Martaon)
Selain itu, Andi juga menyinggung soal penambahan nilai BPNT. Saat ini penerima BPNT menerima Rp110 ribu setiap kali pencairan bantuan. Keinginan menambah nilai BPNT sudah dibahas dalam rapat evaluasi tingkat kementerian.
"Kita tunggu dulu karena tahun depan pemerintah fokus kenaikan PKH (Program Keluarga Harapan). InsyaAllah pada 2020 sudah ada kenaikan," ujarnya.
Seperti diketahui, Kemensos saat ini tengah mentransformasi penyaluran bansos Rastra menjadi BPNT. Perubahan dimulai sejak 2016.
Inspektur Jenderal (Irjend) Kementerian Sosial Dadang Iskandar mengatakan, program BPNT sangat bagus. Kualitas penyaluran jauh lebih baik.
Irjend Kementerian Sosial Dadang Iskandar (Foto:Medcom.id/Anggi Tondi Martaon)
"Dahulu banyak Raskin tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu. Sekarang melalui BPNT mereka dapat membeli beras dan telur tanpa dibebankan uang tebus lagi," kata Dadang.
Namun, Dadang mengakui jika perubahan itu memiliki kendala dalam penerapannya. Di antaranya data para penerima bantuan. Pihaknya berpatokan pada Basis Data Terpadu (BDT). Namun, data yang dilaporkan acap kali berubah dan tidak diikuti pembaruan secara cepat oleh Dinas Sosial tingkat Kabupaten/Kota.
"Masalahnya di situ, sudah masuk ke dalam data terpadu, tapi Dinsos tidak melaporkan kalau keluarga ini sudah meninggal, sudah pindah, atau salah nama. Contoh, namanya Hasan, tapi di data tertulis Hassan. Padahal, alamatnya sama," katanya.
Salah satu dampak belum validnya data terjadi pada proses pencairan yang dilakukan oleh Himpunan Bank Negara (Himbara) sebagai pihak penyalur. Himbara tidak akan melakukan pencairan jika terjadi perbedaan data antara BDT dengan Dinsos.
Dadang menyebutkan, pihaknya tidak menyalahkan Himbara dalam polemik ini. Dia mengakui jika Himbara memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sangat ketat dalam pencairan uang.
"Dengan SOP yang ketat dan pada akhirnya tidak sesuai dengan BDT, Himbara tidak akan mencairkan karena takut salah. Kebijakan dari Kemensos, semua berdasarkan BDT dan BDT diperoleh dari siapa? Kan dari bawah juga (satuan kerja/Dinsos)," kata dia.
Oleh karenanya, Dadang meminta komitmen setiap pemerintahan Kabupaten/Kota untuk aktif memperbaharui BDT setiap saat. Sebab, sangat sangat berkaitan untuk mencapai 6T penyaluran bantuan.
"Makanya tadi saya minta, pada saat mengirimkan data harus disertai surat keterangan dari Bupati atau Walikota bahwa data ini sudah valid," sebut dia.
Selain itu, Dadang juga menyampaikan kekurangan Himbara dalam penyaluran BPNT. Menurutnya, mitra kerja Kemensos tersebut dianggap sangat tertutup dalam hal koordinasi dan informasi.
Padahal, Kemensos dengan pihak Himbara di pusat telah menyepakati nota kesepahaman dalam mekanisme penyaluran BPNT. Namun, tak jarang pula kesepakatan tersebut tidak dilakukan oleh cabang di daerah.
"Kadang-kadang perintah dari atas tidak dipatuhi. Seolah-olah mereka punya SOP sendiri. Tolong disampaikan data rekening koran, tolong koordinasikan secara intens dengan Dinsos. Itu tidak sepenuhnya dilakukan," katanya.
Dadang mengatakan, kondisi tersebut akan disampaikan kepada Himbara. Diharapkan, pimpinan pusat dapat memerintahkan perwakilannya di daerah agar lebih kooperatif terkait koordinasi dan informasi.
"Tentu akan melakukan penekanan kepada Himbara pada level pusat bagaimana memudahkan informasi yang dibutuhkan dan dipertanggungjawabkan," ujar dia.
Selain validitas data, Dadang juga meminta Dinsos aktif mengevaluasi dan menyampaikan implementasi Kelompok Usaha Bersama (Kube) di daerah. Kube merupakan sebuah terobosan cukup bagus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya kaum fakir miskin. Mereka dibina agar bisa mandiri dan memenuhi kebutuhan sendiri.
Dadang mengakui, evaluasi yang dilakukan oleh Dinsos melalui sharing budget tidak berjalan dengan baik. Sehingga, tidak terlalu nampak progres penerapan program tersebut.
"Sekarang apa yang harus dilakukan? Melalui sharing budget untuk evaluasi terhadap Kube ini. Padahal yang berhasil banyak. Sekarang ada ga unit pengedalian di lapangan hasil monitoring mereka. Artinya dari sekian banyak, berapa persen yang bisa kita nilai keberhasilan mereka," sebut dia.
Oleh karenanya, Dadang juga meminta komitmen satuan kerja di daerah dalam pengawasan Kube. Sehingga, berbagai kekurangan dapat ditemukan dan diperbaiki.
"Makanya kita perlu dukungan, kerja sama dan sinergisitas dari pemerintah kabupaten/kota bisa menampilkan potret kube yang dibiayai dari APBN melalui sharing budget untuk kegiatan evaluasinya," ujar dia.
Masukan dari Papua
Fokus rapat kali ini adalah evaluasi penyaluran BPNT dan berbagi pengalaman kepada daerah yang masih menerapkan Rastra. Meski BPNT dianggap mampu meningkatkan kualitas penyaluran bansos, tidak semua setuju hal itu dilakukan. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Kabupaten Tolikara Turin Wanimbo.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Kabupaten Tolikara Turin Wanimbo (Foto:Medcom.id/Anggi Tondi Martaon)
Ketidaksetujuan Turin karena nilai dari BPNT tersebut sebesar Rp110 ribu. Menurutnya, harga beras di sana tidak sebanding dengan jumlah BPNT yang diberikan. "Alasannya beras yang di sini, misalnya Rp110 ribu itu susah. Di sana beras 15 kilogram itu saja Rp400 ribu," kata Turin.
Selain itu, Turin menyampaikan mayoritas kondisi toko daerahnya tidak memungkinkan menerapkan BPNT. Jika pun harus dipaksakan, penerima BPNT harus ke kota besar seperti Wamena dan Papua.
"Mereka datang dari jauh, mau akses warung-warung agak susah. Di sana belum ada toko tapi hanya kios kecil yang tidak layak. Harus ke Wamena atau Papua untuk membelanjakannya. Tapi agak susah untuk itu," katanya.
Oleh karena itu, Turin meminta agar kebijakan tersebut ditinjau ulang, khususnya untuk Papua. Masyarakat di Bumi Cendrawasih lebih puas menerima bantuan dalam bentuk Rastra. " Di sana Rastra sudah tersalurkan dengan baik," ujarnya.
Bandung: Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Ditjen PFM Kemensos) menggelar rapat evaluasi penyaluran bantuan sosial 2018 di Bandung, Jawa Barat, pada 6-8 Desember. Hal itu dilakukan demi mewujudkan 6T dalam menyalurkan bantuan.
6T yang dimaksud ialah Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Waktu, Tepat Kualitas, Tepat Harga, dan Tepat Administrasi.
Dirjen PFM Kemensos Andi Dulung menjelaskan rapat evaluasi diikuti oleh pemerintah daerah di wilayah III, yaitu Papua, Maluku, Sulawesi, dan Jawa Timur. Diharapkan, kegiatan tersebut meningkatkan kualitas penyaluran bantuan.
"Kita kumpulkan selama tiga hari. Mereka membuat suatu kesimpulan, menceritakan masalah yang dihadapi, kemudian dievaluasi semuanya," kata Andi, usai menutup rapat evaluasi di Hotel Bidakara Savoy, Bandung, Jawa Barat, Jumat, 7 Desember 2018.
Beberapa permasalahan yang disampaikan pada rapat tersebut yaitu terkait biaya distribusi beras sejahtera (Rastra) dari titik distribusi hingga pembagian. Namun, Andi menilai bahwa permasalahan tersebut sudah bukan lagi menjadi kendala. Sebab, pemerintah menargetkan Rastra akan dialihkan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
"Kita ingin Januari-Februari 2019 sudah tidak ada lagi Rastra. Semua berubah menjadi BPNT," ucap Andi.
Andi mengingatkan agar semua instrumen penting peralihan dipersiapkan dengan baik, yaitu data, keberadaan e-Warung, dan semangat pemerintah daerah dalam mewujudkan penyaluran bantuan menjadi non tunai pada 2019.
"Kami optimistis, pada April 2019 InsyaAllah semuanya berubah menjadi BPNT. Ini model lebih mudah, mencapai 6T lebih gampang daripada Rastra," ujarnya.
Dirjen PFM Kemensos Andi Dulung (Foto:Medcom.id/Anggi Tondi Martaon)
Selain itu, Andi juga menyinggung soal penambahan nilai BPNT. Saat ini penerima BPNT menerima Rp110 ribu setiap kali pencairan bantuan. Keinginan menambah nilai BPNT sudah dibahas dalam rapat evaluasi tingkat kementerian.
"Kita tunggu dulu karena tahun depan pemerintah fokus kenaikan PKH (Program Keluarga Harapan). InsyaAllah pada 2020 sudah ada kenaikan," ujarnya.
Seperti diketahui, Kemensos saat ini tengah mentransformasi penyaluran bansos Rastra menjadi BPNT. Perubahan dimulai sejak 2016.
Inspektur Jenderal (Irjend) Kementerian Sosial Dadang Iskandar mengatakan, program BPNT sangat bagus. Kualitas penyaluran jauh lebih baik.
Irjend Kementerian Sosial Dadang Iskandar (Foto:Medcom.id/Anggi Tondi Martaon)
"Dahulu banyak Raskin tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu. Sekarang melalui BPNT mereka dapat membeli beras dan telur tanpa dibebankan uang tebus lagi," kata Dadang.
Namun, Dadang mengakui jika perubahan itu memiliki kendala dalam penerapannya. Di antaranya data para penerima bantuan. Pihaknya berpatokan pada Basis Data Terpadu (BDT). Namun, data yang dilaporkan acap kali berubah dan tidak diikuti pembaruan secara cepat oleh Dinas Sosial tingkat Kabupaten/Kota.
"Masalahnya di situ, sudah masuk ke dalam data terpadu, tapi Dinsos tidak melaporkan kalau keluarga ini sudah meninggal, sudah pindah, atau salah nama. Contoh, namanya Hasan, tapi di data tertulis Hassan. Padahal, alamatnya sama," katanya.
Salah satu dampak belum validnya data terjadi pada proses pencairan yang dilakukan oleh Himpunan Bank Negara (Himbara) sebagai pihak penyalur. Himbara tidak akan melakukan pencairan jika terjadi perbedaan data antara BDT dengan Dinsos.
Dadang menyebutkan, pihaknya tidak menyalahkan Himbara dalam polemik ini. Dia mengakui jika Himbara memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sangat ketat dalam pencairan uang.
"Dengan SOP yang ketat dan pada akhirnya tidak sesuai dengan BDT, Himbara tidak akan mencairkan karena takut salah. Kebijakan dari Kemensos, semua berdasarkan BDT dan BDT diperoleh dari siapa? Kan dari bawah juga (satuan kerja/Dinsos)," kata dia.
Oleh karenanya, Dadang meminta komitmen setiap pemerintahan Kabupaten/Kota untuk aktif memperbaharui BDT setiap saat. Sebab, sangat sangat berkaitan untuk mencapai 6T penyaluran bantuan.
"Makanya tadi saya minta, pada saat mengirimkan data harus disertai surat keterangan dari Bupati atau Walikota bahwa data ini sudah valid," sebut dia.
Selain itu, Dadang juga menyampaikan kekurangan Himbara dalam penyaluran BPNT. Menurutnya, mitra kerja Kemensos tersebut dianggap sangat tertutup dalam hal koordinasi dan informasi.
Padahal, Kemensos dengan pihak Himbara di pusat telah menyepakati nota kesepahaman dalam mekanisme penyaluran BPNT. Namun, tak jarang pula kesepakatan tersebut tidak dilakukan oleh cabang di daerah.
"Kadang-kadang perintah dari atas tidak dipatuhi. Seolah-olah mereka punya SOP sendiri. Tolong disampaikan data rekening koran, tolong koordinasikan secara intens dengan Dinsos. Itu tidak sepenuhnya dilakukan," katanya.
Dadang mengatakan, kondisi tersebut akan disampaikan kepada Himbara. Diharapkan, pimpinan pusat dapat memerintahkan perwakilannya di daerah agar lebih kooperatif terkait koordinasi dan informasi.
"Tentu akan melakukan penekanan kepada Himbara pada level pusat bagaimana memudahkan informasi yang dibutuhkan dan dipertanggungjawabkan," ujar dia.
Selain validitas data, Dadang juga meminta Dinsos aktif mengevaluasi dan menyampaikan implementasi Kelompok Usaha Bersama (Kube) di daerah. Kube merupakan sebuah terobosan cukup bagus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya kaum fakir miskin. Mereka dibina agar bisa mandiri dan memenuhi kebutuhan sendiri.
Dadang mengakui, evaluasi yang dilakukan oleh Dinsos melalui sharing budget tidak berjalan dengan baik. Sehingga, tidak terlalu nampak progres penerapan program tersebut.
"Sekarang apa yang harus dilakukan? Melalui sharing budget untuk evaluasi terhadap Kube ini. Padahal yang berhasil banyak. Sekarang ada ga unit pengedalian di lapangan hasil monitoring mereka. Artinya dari sekian banyak, berapa persen yang bisa kita nilai keberhasilan mereka," sebut dia.
Oleh karenanya, Dadang juga meminta komitmen satuan kerja di daerah dalam pengawasan Kube. Sehingga, berbagai kekurangan dapat ditemukan dan diperbaiki.
"Makanya kita perlu dukungan, kerja sama dan sinergisitas dari pemerintah kabupaten/kota bisa menampilkan potret kube yang dibiayai dari APBN melalui sharing budget untuk kegiatan evaluasinya," ujar dia.
Masukan dari Papua
Fokus rapat kali ini adalah evaluasi penyaluran BPNT dan berbagi pengalaman kepada daerah yang masih menerapkan Rastra. Meski BPNT dianggap mampu meningkatkan kualitas penyaluran bansos, tidak semua setuju hal itu dilakukan. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Kabupaten Tolikara Turin Wanimbo.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Kabupaten Tolikara Turin Wanimbo (Foto:Medcom.id/Anggi Tondi Martaon)
Ketidaksetujuan Turin karena nilai dari BPNT tersebut sebesar Rp110 ribu. Menurutnya, harga beras di sana tidak sebanding dengan jumlah BPNT yang diberikan. "Alasannya beras yang di sini, misalnya Rp110 ribu itu susah. Di sana beras 15 kilogram itu saja Rp400 ribu," kata Turin.
Selain itu, Turin menyampaikan mayoritas kondisi toko daerahnya tidak memungkinkan menerapkan BPNT. Jika pun harus dipaksakan, penerima BPNT harus ke kota besar seperti Wamena dan Papua.
"Mereka datang dari jauh, mau akses warung-warung agak susah. Di sana belum ada toko tapi hanya kios kecil yang tidak layak. Harus ke Wamena atau Papua untuk membelanjakannya. Tapi agak susah untuk itu," katanya.
Oleh karena itu, Turin meminta agar kebijakan tersebut ditinjau ulang, khususnya untuk Papua. Masyarakat di Bumi Cendrawasih lebih puas menerima bantuan dalam bentuk Rastra. " Di sana Rastra sudah tersalurkan dengan baik," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)