medcom.id, Jakarta: Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) menyoroti rencana penerapan Single Mux dalam industri penyiaran atau pertelevisian di Indonesia. Penerapan ini akan memunculkan sejumlah kerugian, baik bagi industri maupun masyarakat luas.
"Menurut saya rencana ini sangat fatal dalam (pembahasan) UU Penyiaran yang baru, yang akan di-launching anggota dewan (Komisi I DPR) dalam waktu dekat. Saya melihat dari sisi masyarakat dan industri sangat dirugikan," kata Ketua LPPMII Kamilov Sagala di Restoran GH Corner Jakarta, Jalan Raya Kebayoran Lama, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, Rabu 18 Oktober 2017.
Kamilov membeberkan sejumlah daftar kerugian bila konsep Single Mux ini diterapkan di Indonesia. Pertama, akan menjadi konsentrasi kepemilikan sumber daya khususnya di frekuensi.
"Yang diharapkan oleh masyarakat dan industri adalah Multi Mux atau Multiplekser Jamak yang apabila ini dijalankan, keuntungan-keuntungan ada di semua pihak," ucap dia.
Baca: Single Mux Operator Berpotensi Ciptakan Monopoli di Industri Penyiaran
Kamilov menuturkan praktik Single Mux akan menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Itu lantaran terjadi posisi dominan di mana LPP Radio Televisi Republik Indonesia (LPP) RTRI akan menguasai seluruh proses produksi penyiaran, baik frekuensi dan infrastruktur sehingga membatasi ruang gerak LPS.
"Kalau menurut saya ini adalah otoriter," ucap dia.
Kerugian kedua, lanjut Kamilov, adalah infrastruktur yang sudah dibangun secara merata oleh sejumlah lembaga penyiaran swasta berpotensi besar terbengkalai. Alhasil tak hanya lembaga penyiaran swasta yang merugi, tapi negara pun dinilai ikut merugi.
"Ini akan membebani anggaran negara yang akan muncul karena negara ikut bertanggungjawab akan membangun infrastruktur baru. Sementara infrastruktur yang sudah dibangun oleh industri ini akan terbengkalai dan merugikan industri yang sudah bergerak lebih maju ke depan," beber dia.
Kamilov juga menyoroti klaim digital deviden sebesar Rp1.300 triliun yang akan didapat dengan penerapan konsep Single Mux. Kamilov berpendapat hitungan tersebut sangat bombastis, tidak masuk akal dan tidak berdasar.
"Ini mengada-ngada dan membuat kita dibohongi bahwa betul dengan sistem (single mux) menguntungkan negara dan masyarakat. Menurut saya ini, logika yang terbalik. Karena industri ini padat modal dari sisi pembangunan konten dan segala macam," ucap dia.
Baca: Baleg DPR Sebut Pemerintah Mendukung Konsep Multi Mux
Kamilov mendesak pihak yang mengklaim konsep ini dapat menghasilkan digital deviden hingga Rp1.300 triliun, untuk menghitung ulang lagi. Pasalnya, Kamilov tidak melihat dasar yang tepat sehingga angka sebesar itu keluar.
"Itung-itungannya tidak masuk akal. 112 MHz yang ada saat ini yang dihitung kawan-kawan yang ada di Telco, itu paling ratusan miliar. Bukan Rp1.300 triliun," ucap dia.
Kerugian selanjutnya adalah akan terjadi pengurangan sumber daya manusia atau PHK massal di industri penyiaran. Kamilov mengaku prihatin bila fenomena ini terjadi ke depan.
"Anggota dewan maupun pemerintah harus mempertimbangkan betapa banyaknya masyarakat di balik ini yang dirugikan khususnya kawan-kawan di industri ini," ucap dia.
Kamilov mengungkapkan sejumlah negara ternyata gagal menerapkan sistem Single Mux. Di antaranya Malaysia. Harusnya negara saat ini waspada. "Karena ada contoh terdekat yang bisa dilihat. Kalaupun dipaksakan juga saya pikir, kita harus melawan," terangnya.
medcom.id, Jakarta: Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) menyoroti rencana penerapan Single Mux dalam industri penyiaran atau pertelevisian di Indonesia. Penerapan ini akan memunculkan sejumlah kerugian, baik bagi industri maupun masyarakat luas.
"Menurut saya rencana ini sangat fatal dalam (pembahasan) UU Penyiaran yang baru, yang akan di-launching anggota dewan (Komisi I DPR) dalam waktu dekat. Saya melihat dari sisi masyarakat dan industri sangat dirugikan," kata Ketua LPPMII Kamilov Sagala di Restoran GH Corner Jakarta, Jalan Raya Kebayoran Lama, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, Rabu 18 Oktober 2017.
Kamilov membeberkan sejumlah daftar kerugian bila konsep Single Mux ini diterapkan di Indonesia. Pertama, akan menjadi konsentrasi kepemilikan sumber daya khususnya di frekuensi.
"Yang diharapkan oleh masyarakat dan industri adalah Multi Mux atau Multiplekser Jamak yang apabila ini dijalankan, keuntungan-keuntungan ada di semua pihak," ucap dia.
Baca: Single Mux Operator Berpotensi Ciptakan Monopoli di Industri Penyiaran
Kamilov menuturkan praktik Single Mux akan menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Itu lantaran terjadi posisi dominan di mana LPP Radio Televisi Republik Indonesia (LPP) RTRI akan menguasai seluruh proses produksi penyiaran, baik frekuensi dan infrastruktur sehingga membatasi ruang gerak LPS.
"Kalau menurut saya ini adalah otoriter," ucap dia.
Kerugian kedua, lanjut Kamilov, adalah infrastruktur yang sudah dibangun secara merata oleh sejumlah lembaga penyiaran swasta berpotensi besar terbengkalai. Alhasil tak hanya lembaga penyiaran swasta yang merugi, tapi negara pun dinilai ikut merugi.
"Ini akan membebani anggaran negara yang akan muncul karena negara ikut bertanggungjawab akan membangun infrastruktur baru. Sementara infrastruktur yang sudah dibangun oleh industri ini akan terbengkalai dan merugikan industri yang sudah bergerak lebih maju ke depan," beber dia.
Kamilov juga menyoroti klaim digital deviden sebesar Rp1.300 triliun yang akan didapat dengan penerapan konsep Single Mux. Kamilov berpendapat hitungan tersebut sangat bombastis, tidak masuk akal dan tidak berdasar.
"Ini mengada-ngada dan membuat kita dibohongi bahwa betul dengan sistem (single mux) menguntungkan negara dan masyarakat. Menurut saya ini, logika yang terbalik. Karena industri ini padat modal dari sisi pembangunan konten dan segala macam," ucap dia.
Baca: Baleg DPR Sebut Pemerintah Mendukung Konsep Multi Mux
Kamilov mendesak pihak yang mengklaim konsep ini dapat menghasilkan digital deviden hingga Rp1.300 triliun, untuk menghitung ulang lagi. Pasalnya, Kamilov tidak melihat dasar yang tepat sehingga angka sebesar itu keluar.
"Itung-itungannya tidak masuk akal. 112 MHz yang ada saat ini yang dihitung kawan-kawan yang ada di Telco, itu paling ratusan miliar. Bukan Rp1.300 triliun," ucap dia.
Kerugian selanjutnya adalah akan terjadi pengurangan sumber daya manusia atau PHK massal di industri penyiaran. Kamilov mengaku prihatin bila fenomena ini terjadi ke depan.
"Anggota dewan maupun pemerintah harus mempertimbangkan betapa banyaknya masyarakat di balik ini yang dirugikan khususnya kawan-kawan di industri ini," ucap dia.
Kamilov mengungkapkan sejumlah negara ternyata gagal menerapkan sistem Single Mux. Di antaranya Malaysia. Harusnya negara saat ini waspada. "Karena ada contoh terdekat yang bisa dilihat. Kalaupun dipaksakan juga saya pikir, kita harus melawan," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)