Jakarta: Pemerintah terus mencari solusi untuk mencegah penurunan tanah di Indonesia, terutama wilayah Jawa. Salah satu yang dinilai efektif metode hybrid engineering.
"Metode hybrid mayoritas di Pantura (pantai utara) karena ini adalah program revitalisasi. Kalau luar Jawa, tahun ini rencana di Bone (Sulawesi Selatan) dan Bombana (Sulawesi Tenggara)," ujar Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Fegi Nurhabni pada Medcom.id, di kantor LIPI, Jakarta, Kamis, 25 Juli 2019.
Hybrid engineering adalah metode perlindungan depan sebagai upaya vegetasi di daerah pesisir. Tujuannya untuk melindungi hutan mangrove yang sedang berkembang.
Metode ini mirip dengan penanaman mangrove, tapi menggunakan ranting besar dari bambu yang ditanam dalam jumlah banyak pada ketinggian tertentu. Sebagian ranting ada di dalam tanah dan sebagian di atas.
Letak hybrid engineering jauh di depan hutan mangrove untuk menyaring pasir atau lumpur. Semakin lama, pasir akan menumpuk dan membentuk tanah baru.
(Baca juga: Pembangunan Tanggul Laut Perlu Memerhatikan Penurunan Tanah)
Nantinya, tanah akan ditanami dengan bibit tanaman yang cocok dengan ekosistem di situ. Misalnya, rizophora atau api-api.
Fegi menilai metode ini efektif untuk menaikkan tanah di area utara Jawa. Meski, bertahan 3-4 tahun.
"Setelah 3-4 tahun, sudah terbentuk tanah yang baru. Nanti dibuat hybrid baru, maju lagi ke arah laut," terang dia.
Karena bertujuan revitalisasi, batas maksimal hybrid engineering garis batas pantai. Jika melebihi itu, maka konsep akan berubah menjadi reklamasi.
Fegi menuturkan hybrid engineering unggul karena bersifat alami. Ketika bambu sudah busuk, maka akan menyatu dengan tanah. Metode ini juga tergolong lebih murah karena menggunakan bahan lokal.
Namun, perlu perawatan ekstra mengingat bahan yang tak bisa bertahan lama. Gelombang laut yang besar dapat menarik bambu yang ditanam sehingga perlu diganti dengan yang baru.
Jakarta: Pemerintah terus mencari solusi untuk mencegah penurunan tanah di Indonesia, terutama wilayah Jawa. Salah satu yang dinilai efektif metode
hybrid engineering.
"Metode
hybrid mayoritas di Pantura (pantai utara) karena ini adalah program revitalisasi. Kalau luar Jawa, tahun ini rencana di Bone (Sulawesi Selatan) dan Bombana (Sulawesi Tenggara)," ujar Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Fegi Nurhabni pada
Medcom.id, di kantor LIPI, Jakarta, Kamis, 25 Juli 2019.
Hybrid engineering adalah metode perlindungan depan sebagai upaya vegetasi di daerah pesisir. Tujuannya untuk melindungi hutan mangrove yang sedang berkembang.
Metode ini mirip dengan penanaman mangrove, tapi menggunakan ranting besar dari bambu yang ditanam dalam jumlah banyak pada ketinggian tertentu. Sebagian ranting ada di dalam tanah dan sebagian di atas.
Letak
hybrid engineering jauh di depan hutan mangrove untuk menyaring pasir atau lumpur. Semakin lama, pasir akan menumpuk dan membentuk tanah baru.
(Baca juga:
Pembangunan Tanggul Laut Perlu Memerhatikan Penurunan Tanah)
Nantinya, tanah akan ditanami dengan bibit tanaman yang cocok dengan ekosistem di situ. Misalnya, rizophora atau api-api.
Fegi menilai metode ini efektif untuk menaikkan tanah di area utara Jawa. Meski, bertahan 3-4 tahun.
"Setelah 3-4 tahun, sudah terbentuk tanah yang baru. Nanti dibuat
hybrid baru, maju lagi ke arah laut," terang dia.
Karena bertujuan revitalisasi, batas maksimal
hybrid engineering garis batas pantai. Jika melebihi itu, maka konsep akan berubah menjadi reklamasi.
Fegi menuturkan
hybrid engineering unggul karena bersifat alami. Ketika bambu sudah busuk, maka akan menyatu dengan tanah. Metode ini juga tergolong lebih murah karena menggunakan bahan lokal.
Namun, perlu perawatan ekstra mengingat bahan yang tak bisa bertahan lama. Gelombang laut yang besar dapat menarik bambu yang ditanam sehingga perlu diganti dengan yang baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)