Jakarta: Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Heru Susetyo, menilai media harus cermat dalam memberitakan isu terorisme. Pemberitaan yang tak cermat memiliki efek domino.
“Coverage-nya media harus proporsional,” kata Heru dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Februari 2021.
Heru menyebut media kerap gagap memberitakan isu terorisme atau radikalisme. Celakanya, ada media yang sengaja menyebar berita meresahkan demi viral.
“Sehingga media tidak terkontrol, bisa mengglorifikasi, bahkan bisa memviktimisasi orang,” papar dia.
Heru mencontohkan seseorang dinyatakan sebagai teroris melalui putusan pengadilan yang sudah inkrah. Namun, ada media yang memberitakan tindakannya secara berlebihan, sehingga dianggap sebagai pahlawan oleh sebagian orang.
“Jadinya teroris diglorifikasi karena terus-terusan diberitakan,” terang dia.
Contoh lainnya, yakni seseorang yang baru diduga sebagai teroris dan proses hukum berjalan. Namun, media sudah memberitakan orang itu adalah teroris.
“Bisa muncul stigma atau label yang salah di masyarakat,” tutur Heru.
Menurut Heru, pemberitaan itu bisa membuat satu keluarga dianggap sebagai teroris. Padahal, informasi itu belum tentu tepat.
Baca: Inspiratif, Mantan Napi Teroris Buka Lembaran Baru Jadi Peternak Lele
Jakarta: Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Heru Susetyo, menilai
media harus cermat dalam memberitakan isu
terorisme. Pemberitaan yang tak cermat memiliki efek domino.
“
Coverage-nya media harus proporsional,” kata Heru dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Februari 2021.
Heru menyebut media kerap gagap memberitakan isu terorisme atau radikalisme. Celakanya, ada media yang sengaja menyebar berita meresahkan demi viral.
“Sehingga media tidak terkontrol, bisa mengglorifikasi, bahkan bisa memviktimisasi orang,” papar dia.
Heru mencontohkan seseorang dinyatakan sebagai teroris melalui putusan pengadilan yang sudah inkrah. Namun, ada media yang memberitakan tindakannya secara berlebihan, sehingga dianggap sebagai pahlawan oleh sebagian orang.
“Jadinya teroris diglorifikasi karena terus-terusan diberitakan,” terang dia.
Contoh lainnya, yakni seseorang yang baru diduga sebagai teroris dan proses hukum berjalan. Namun, media sudah memberitakan orang itu adalah teroris.
“Bisa muncul stigma atau label yang salah di masyarakat,” tutur Heru.
Menurut Heru, pemberitaan itu bisa membuat satu keluarga dianggap sebagai teroris. Padahal, informasi itu belum tentu tepat.
Baca: Inspiratif, Mantan Napi Teroris Buka Lembaran Baru Jadi Peternak Lele Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)