ILUSTRASI: Paspampres melakukan simulasi pengawalan VVIP jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Nusantara I, Jakarta (18/10/2014)/ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
ILUSTRASI: Paspampres melakukan simulasi pengawalan VVIP jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Nusantara I, Jakarta (18/10/2014)/ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

FOKUS

Pengawalan Pejabat dan Minimnya Pengendara yang Taat

Sobih AW Adnan • 23 Oktober 2017 20:53
medcom.id, Jakarta: Riuh jalanan di Indonesia, seriuh segala persoalan yang menyertainya.
 
Mulai dari masalah kemacetan, infrastruktur jalan tak layak pakai, tingginya angka kecelakaan, lemahnya kesadaran memanfaatkan angkutan massal, pro-kontra layanan angkutan daring dan konvensional, hingga jumlah pelanggar aturan yang kian tahun makin membengkak.
 
Bayangkan saja, untuk perkara paling akhir, data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyebut, dalam setiap harinya ada sekitar 23.200 kasus pelanggaran yang terjadi di jalan raya.

Sepanjang 2012 hingga 2016, angka pelanggaran terus merangkak naik hingga menyentuh angka 47%. Pada 2014, jumlah tersebut malah sempat membengkak dua kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
 
Apalagi, di jantung negara; DKI Jakarta.
 
Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya mencatat, pada 2016 penindakan kasus pengendara mencapai 1.181.543 pelanggar. Naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.037.828 pengendara.
 
Sedangkan pada 2017, hingga Agustus lalu, tren pelanggaran lalu lintas cenderung meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Yakni, ada sebanyak 87.192 penindakan. Tak tanggung-tanggung, pergerakannya hingga sebesar 43,1% dibanding Juli yang tercatat hanya 60.942 penindakan.
 
Angka-angka itu, tentu bukan persoalan yang bisa dianggap sepele. Sebab, telah lama dikenal sepenggal semboyan; lalu lintas adalah etalase bangsa.
 
Krisis teladan
 
Pakar sosiologi hukum Soerjono Soekanto, dalam Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (2008) menyebut, persoalan ketertiban dan ketaatan tidak melulu terletak pada proses penegakkan hukum. Lebih jauh dari itu, ada banyak elemen yang mesti digerakkan dan memiliki kesadaran yang sama.
 
Pertama, tentu faktor pengetahuan akan konten hukum. Berikutnya, personel penegak hukum, masyarakat, sarana dan fasilitas, dan budaya.
 
"Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan peranannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan tugas tersebut dilakukan dengan mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk semua anggota masyarakat," tulis Soerjono.
 
Ihwal panutan ini, tak jarang berbalik menjadi dalih bagi masyarakat itu sendiri. Sebab, faktanya tak sekali dua oknum petugas malah mempertunjukkan pelanggaran di jalanan dengan alasan kewenangan.
 
Bagi masyarakat keumuman, perbedaan antara diskresi dan penyalahgunaan wewenang itu kian tampak tipis ketika berhadapan dengan tim Patroli Pengawalan (Patwal) yang tengah bertugas mengiringi salah seorang pejabat negara, maupun daerah.
 
Betapa tidak, hak dari khalayak pengguna jalan dianggap wajib direlakan begitu saja demi lancarnya perjalanan sekelompok orang.
 
Belum lagi, jika sang pejabat dan rombongannya tak sungkan melakukan kesalahan-kesalahan. Ambil misal, melabrak arus searah (one way), lampu merah, atau bahkan terkesan abai dengan pengguna jalan lain hingga menelan korban.
 
Aturan mengenai voorijder ini, sebenarnya sudah termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 134 huruf g UU itu disebutkan, pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan dengan urutan sebagai berikut:
 
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
b. Ambulans yang mengangkut orang sakit;
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;
d. Kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia;
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;
f. Iring-iringan pengantar jenazah;
g. Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 
Terkait huruf d, sesuai UUD 1945, Lembaga Negara RI mencakup MPR, DPR, DPD, Presiden, Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), MA, MK.
 
Sedangkan konvoi atau kendaraan kepentingan tertentu dalam Pasal 134 huruf g, sejatinya memberikan batasan definisi dalam arti; memerlukan penanganan segera. Seperti kendaraan untuk penanganan ancaman bom, pengangkut pasukan, penanganan huru-hara, dan penanganan bencana alam.
 
Setelahnya, barulah Polri berhak menggunakan diskresi alias kebebasan mengambil keputusan sendiri untuk situasi yang dihadapi.
 
Kepala daerah dan Gubernur, ada di titik ini. Maka, tak salah, jika kelatahan menggunakan fasilitas pengawalan yang bahkan melanggar peraturan lalu lintas itu, cuma dicatat masyarakat sebagai sebuah ketidak-adilan di antara sesama pengguna jalan raya.
 
Pengawalan Pejabat dan Minimnya Pengendara yang Taat
Presiden Joko Widodo menyapa warga saat pembagian sembako di RW 5, Kelurahan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (29/6/2016)/ANTARA FOTO/Septres-Cahyo
 
Memulai tradisi baru
 
Presiden Joko Widodo, rupanya merasakan kegelisahan itu sejak awal. Persoalan rombongan pejabat yang "mengaspal" dinilai bisa merontokkan simpati masyarakat.
 
Pada 2016, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung pun mengeluarkan surat edaran bernomor B-693/Seskab/DKK/11/2016. Surat itu, berisi arahan Presiden Jokowi tentang beberapa hal yang dianggap pemborosan, termasuk kebiasaan pengawalan para pejabat.

Pada poin 4 edaran itu ditulis, Menteri atau pejabat yang melaksanakan tugas atau kunjungan kerja tidak diperkenankan menggunakan patroli pengawalan yang panjang dan sirene yang berlebihan, yang dapat mengganggu masyarakat pengguna lalu lintas lainnya.


Imbauan yang tidak cuma diberlakukan untuk para pembantunya. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga memangkas kebiasaan iring-iringan pejabat yang kini tengah disandang dirinya. Dari semula diikuti 15 sampai 22 unit, dicukupkan menjadi 7 mobil saja.
 
Bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jokowi juga sepakat untuk tidak menggunakan raungan sirene, atau sembarang menyetop arus di persimpangan jalan.
 
Terlebih di Jakarta, kemacetan yang sudah menjelma tantangan besar warga dijadikan rujukan utama.
 
Dan terbukti, alih-alih keamanan kepala negara dikhawatirkan, justru nyaris dalam setiap momen perjalanan, Presiden Jokowi malah tampak lebih dekat mendapat sambutan warga begitu hangat.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan