Jakarta: Puasa merupakan satu-satunya ibadah yang dinilai sangat personal. Penggambaran itu, berkaca pada firman Allah Swt melalui hadis qudsi, "Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
Kekhususan berpuasa, mengutip pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, di antaranya karena ibadah tersebut merupakan sebentuk penghambaan yang kecil kemungkinan bisa ditumpangi perasaan ria. Puasa, cenderung sulit dipamerkan lantaran haus dan lapar hanya bisa dirasakan oleh yang menjalankannya di bawah pengawasan langsung dari Allah Swt.
Sementara dalam Zad Al-Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, "Semua ibadah terlihat amalannya. Dan, sedikit sekali yang selamat dari godaan ria, berbeda dengan puasa."
Meskipun kedudukan puasa sangat istimewa dan mengandung nilai pahala yang besar, akan tetapi tidak diperkenankan seseorang berpuasa sembarangan tanpa berpandu pada ketentuan syariat. Sebab, dalam ketentuan agama, terdapat pula hari-hari yang ditetapkan haram untuk berpuasa.
Hari-hari yang diharamkan berpuasa tersebut antara lain, dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha), hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah), dan puasa pada yaum al-syak atau hari yang diragukan (Belum jelasnya penanggalan apakah sudah masuk 1 Ramadan atau belum).
Selain hari-hari tersebut, meskipun keumuman ulama tidak memasukkannya ke dalam level haram, berpuasa di hari Jumat juga termasuk ibadah yang tidak dianjurkan. Dalam arti, berpuasa secara khusus tanpa diiringi berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.
Perbedaan hukum
Berpatokan pada pendapat fikih 4 mazhab, mayoritas ulama menghukumi berpuasa hanya di hari Jumat adalah perbuatan makruh. Sementara menurut pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, puasa yang dilakukan hanya pada hari Jumat tidak disarankan akan tetapi dikategorikan mandub.
Mandub, merupakan kadar sunah dalam tingkatan paling rendah.
Ulama hanafiah Al-Hashkafi dalam Ad-Dur Al-Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar mengatakan, "Puasa yang dihukumi mandub antara lain, puasa tiga hari setiap pertengahan bulan, puasa hari Jumat tanpa didahului/diikuti berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya, dan puasa hari Arafah untuk orang yang berhaji meskipun tidak sampai membuatnya lemah."
Begitu pula pendapat Imam Ad-Dardiry yang merupakan penganut mazhab Maliki. Dalam As-Syarh Al-Kabir li Ad-Dardiry wa Hasyiyatu Ad-Dasuqi ia menulis;
"Hukum berpuasa di hari Jumat saja tanpa diikuti satu hari sebelum atau sesudahnya adalah mandub."
Baca: Sejarah Penamaan Hari Jumat dan 5 Peristiwa Besar yang Terjadi di Dalamnya
Pendapat-pendapat tersebut, mengacu merujuk pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda;
"Janganlah kalian puasa hari jum’at kecuali kalau sebelum atau sesudahnya juga puasa." (HR. Al-Bukhari)
Beberapa ulama masyhur lainnya juga berpendapat, berpuasa di hari Jumat tanpa diiringi sehari sebelum atau sesudahnya tidak dihukumi makruh jika disandarkan pada alasan memenuhi nazar karena janji yang sudah diucapkan sebelumnya. Misalnya, bernazar puasa ketika sembuh dari penyakit.
Hikmah
Tidak dianjurkannya puasa yang dikhususkan pada hari Jumat ini bukan tanpa sebab. Syekh Abu Zakaria Muhyuddin atau yang masyhur disebut Imam An-Nawawi, sebagaimana dikutip Jalaluddin As-Suyuthi dalam Nurul Al-Lama’ah fi Khashaishil Jum’ah mengatakan, hikmah pelarangan puasa yang dikhususkan pada hari Jumat adalah karena di hari tersebut Allah Swt sudah mensyariatkan rangkaian ibadah yang cukup banyak. Antara lain, berzikir, berselawat kepada Nabi Muhammad Saw, mendaras Al-qur'an, dan lain sebagainya.
Hikmah berikutnya adalah demi terhindarnya hari Jumat dari kesan berlebihan, termasuk dalam melaksanakan ibadah yang sebenarnya tidak disyariatkan.
Faktor selanjutnya ialah agar menjadi ciri yang membedakan dengan kaum sebelumnya. Misalnya, golongan Yahudi yang menjadikan Sabtu sebagai hari suci lalu melaksanakan ibadah puasa yang dikhususkan pada hari tersebut.
Alasan terakhir adalah karena Jumat merupakan hari yang disetarakan dengan hari raya bagi umat Islam.
Penyetaraan Jumat sebagai hari raya ini juga didukung Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan mengutip hadis yang diceritakan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda;
"Hari Jumat adalah hari raya. Maka janganlah kalian jadikan hari raya itu sebagai hari berpuasa kalian, kecuali jika kalian sudah berpuasa pada hari sebelumnya atau akan berpuasa lagi pada hari setelahnya." (HR. Hakim)
Informasi keislaman dan inspirasi gaya hidup Muslim lainnya bisa dibaca melalui Oase.id
Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari karya Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Zad Al-Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad karya Muhammad bin Abi Bakr Al-Dimashqi atau Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ad-Dur Al-Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Hashkafi, As-Syarh Al-Kabir li Ad-Dardiry wa Hasyiyatu Ad-Dasuqi karya Abu Al-Barakat Ahmad Ibn Muhammad atau Imam Ad-Dardiry, serta Nurul Al-Lama’ah fi Khashaishil Jum’ah karya Abu Al-Fa?l Abd Al-Ra?man bin Abi Bakr atau dikenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
Jakarta: Puasa merupakan satu-satunya ibadah yang dinilai sangat personal. Penggambaran itu, berkaca pada firman Allah Swt melalui hadis qudsi, "Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
Kekhususan berpuasa, mengutip pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Fathul Bari, di antaranya karena ibadah tersebut merupakan sebentuk penghambaan yang kecil kemungkinan bisa ditumpangi perasaan ria. Puasa, cenderung sulit dipamerkan lantaran haus dan lapar hanya bisa dirasakan oleh yang menjalankannya di bawah pengawasan langsung dari Allah Swt.
Sementara dalam
Zad Al-Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, "Semua ibadah terlihat amalannya. Dan, sedikit sekali yang selamat dari godaan ria, berbeda dengan puasa."
Meskipun kedudukan puasa sangat istimewa dan mengandung nilai pahala yang besar, akan tetapi tidak diperkenankan seseorang berpuasa sembarangan tanpa berpandu pada ketentuan syariat. Sebab, dalam ketentuan agama, terdapat pula hari-hari yang ditetapkan haram untuk berpuasa.
Hari-hari yang diharamkan berpuasa tersebut antara lain, dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha), hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah), dan puasa pada
yaum al-syak atau hari yang diragukan (Belum jelasnya penanggalan apakah sudah masuk 1 Ramadan atau belum).
Selain hari-hari tersebut, meskipun keumuman ulama tidak memasukkannya ke dalam level haram, berpuasa di hari Jumat juga termasuk ibadah yang tidak dianjurkan. Dalam arti, berpuasa secara khusus tanpa diiringi berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.
Perbedaan hukum
Berpatokan pada pendapat fikih 4 mazhab, mayoritas ulama menghukumi berpuasa hanya di hari Jumat adalah perbuatan makruh. Sementara menurut pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, puasa yang dilakukan hanya pada hari Jumat tidak disarankan akan tetapi dikategorikan
mandub.
Mandub, merupakan kadar sunah dalam tingkatan paling rendah.
Ulama hanafiah Al-Hashkafi dalam
Ad-Dur Al-Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar mengatakan, "Puasa yang dihukumi
mandub antara lain, puasa tiga hari setiap pertengahan bulan, puasa hari Jumat tanpa didahului/diikuti berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya, dan puasa hari Arafah untuk orang yang berhaji meskipun tidak sampai membuatnya lemah."
Begitu pula pendapat Imam Ad-Dardiry yang merupakan penganut mazhab Maliki. Dalam
As-Syarh Al-Kabir li Ad-Dardiry wa Hasyiyatu Ad-Dasuqi ia menulis;
"Hukum berpuasa di hari Jumat saja tanpa diikuti satu hari sebelum atau sesudahnya adalah
mandub."
Baca: Sejarah Penamaan Hari Jumat dan 5 Peristiwa Besar yang Terjadi di Dalamnya
Pendapat-pendapat tersebut, mengacu merujuk pada hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda;
"Janganlah kalian puasa hari jum’at kecuali kalau sebelum atau sesudahnya juga puasa." (HR. Al-Bukhari)
Beberapa ulama masyhur lainnya juga berpendapat, berpuasa di hari Jumat tanpa diiringi sehari sebelum atau sesudahnya tidak dihukumi makruh jika disandarkan pada alasan memenuhi nazar karena janji yang sudah diucapkan sebelumnya. Misalnya, bernazar puasa ketika sembuh dari penyakit.
Hikmah
Tidak dianjurkannya puasa yang dikhususkan pada hari Jumat ini bukan tanpa sebab. Syekh Abu Zakaria Muhyuddin atau yang masyhur disebut Imam An-Nawawi, sebagaimana dikutip Jalaluddin As-Suyuthi dalam
Nurul Al-Lama’ah fi Khashaishil Jum’ah mengatakan, hikmah pelarangan puasa yang dikhususkan pada hari Jumat adalah karena di hari tersebut Allah Swt sudah mensyariatkan rangkaian ibadah yang cukup banyak. Antara lain,
berzikir, berselawat kepada Nabi Muhammad Saw, mendaras Al-qur'an, dan lain sebagainya.
Hikmah berikutnya adalah demi terhindarnya hari Jumat dari kesan berlebihan, termasuk dalam melaksanakan ibadah yang sebenarnya tidak disyariatkan.
Faktor selanjutnya ialah agar menjadi ciri yang membedakan dengan kaum sebelumnya. Misalnya, golongan Yahudi yang menjadikan Sabtu sebagai hari suci lalu melaksanakan ibadah puasa yang dikhususkan pada hari tersebut.
Alasan terakhir adalah karena Jumat merupakan hari yang disetarakan dengan hari raya bagi umat Islam.
Penyetaraan Jumat sebagai hari raya ini juga didukung Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan mengutip hadis yang diceritakan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda;
"Hari Jumat adalah hari raya. Maka janganlah kalian jadikan hari raya itu sebagai hari berpuasa kalian, kecuali jika kalian sudah berpuasa pada hari sebelumnya atau akan berpuasa lagi pada hari setelahnya." (HR. Hakim)
Informasi keislaman dan inspirasi gaya hidup Muslim lainnya bisa dibaca melalui Oase.id
Sumber: Disarikan dari keterangan dalam Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari karya Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Zad Al-Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad karya Muhammad bin Abi Bakr Al-Dimashqi atau Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ad-Dur Al-Mukhtar Syarh Tanwirul Abshar karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Hashkafi, As-Syarh Al-Kabir li Ad-Dardiry wa Hasyiyatu Ad-Dasuqi karya Abu Al-Barakat Ahmad Ibn Muhammad atau Imam Ad-Dardiry, serta Nurul Al-Lama’ah fi Khashaishil Jum’ah karya Abu Al-Fa?l Abd Al-Ra?man bin Abi Bakr atau dikenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)