Jakarta: Salat berjamaah merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam karena keutamaannya yang besar, khususnya dari sisi pahala.
Namun, terkadang ada beberapa situasi yang menimbulkan pertanyaan fikih, salah satunya adalah ketika makmum ikut berjamaah berbeda niat dengan imam. Misalnya, imam melaksanakan salat fardu Zuhur, sementara si makmum berniat melaksanakan salat qadha atau salat sunnah.
Lalu, bagaimana hukum dan keabsahan salat berjamaah dalam kondisi seperti ini? Apakah salat makmum tetap sah meskipun tidak menyamakan niat dengan imam?
Melansir dari NU Online, dijelaskan bahwa dalam salat jamaah makmum itu memang harus mengikuti imam sebagaimana dijelaskan dalam hadits;
Artinya, "Tidak lain, posisi imam fungsinya untuk diikuti," (Muttafaqun Alaih).
Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Majmu' Syarah Muhadzab menjelaskan maksud dari hadis tersebut adalah imam harus diikuti dalam gerakannya tidak dalam niatnya.
Salah satu syarat sahnya salat berjamaah adalah adanya kesesuaian susunan (nadzm) gerakan salat antara imam dan makmum, meskipun jumlah rakaatnya berbeda. Misalnya, shalat fardu tidak dapat dilakukan dengan bermakmum kepada seseorang yang sedang melaksanakan salat gerhana matahari, gerhana bulan, shalat jenazah, sujud tilawah, atau sujud syukur.
Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian susunan gerakan antara imam dan makmum, sehingga makmum tidak dapat mengikuti gerakan imam secara sempurna, dan jamaahnya menjadi tidak sah.
Sebaliknya, seseorang yang melaksanakan salat fardu tetap sah hukumnya jika bermakmum kepada imam yang sedang melaksanakan shalat sunnah atau shalat qadha, meskipun terdapat perbedaan niat antara imam dan makmum. Hal ini dimungkinkan karena susunan gerakan shalat tetap sesuai, sehingga makmum dapat mengikuti gerakan imam dengan sempurna.
Namun, perlu dicatat bahwa bermakmum kepada imam yang sedang melaksanakan shalat qadha hukumnya makruh dan dapat mengurangi keutamaan salat berjamaah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dijelaskan dalam karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami:
Artinya, "Sah (namun makruh karena menghilangkan keutamaan berjamaah) salat Zhuhur di belakang orang yang sedang shalat Ashar, atau sebaliknya; dan shalat di belakang orang yang sedang shalat Maghrib, atau sebaliknya, karena kesamaan dalam tata cara shalat (nizham), meskipun berbeda dalam jumlah rakaat dan niat. Demikian pula dibolehkan orang yang mengqadha shalat bermakmum kepada orang yang sedang menunaikan shalat pada waktunya (ada’), dan sebaliknya; serta orang yang menunaikan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, dan sebaliknya, karena adanya kesesuaian tata cara dalam semua keadaan tersebut." (Minhajul Qawim, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, cetakan pertama: 2000), halaman 158).
Menanggapi kondisi tersebut, Syekh Said Bin Muhammad Ba'ali Baisan dalam Busyrol Karim menyatakan bahwa shalat tetap sah, tetapi hukumnya makruh dan kehilangan keutamaan jamaah.
Namun, shalat sendirian lebih utama daripada salat berjamaah dengan imam yang berbeda niat, untuk menghindari perbedaan pendapat ulama yang menyatakan salat tersebut tidak sah (khuruj minal khilaf).
Artinya, "Makmum yang mengqadha shalat sah untuk bermakmum kepada orang yang sedang menunaikan salat pada waktunya (shalat ada’), begitu pula sebaliknya. Demikian pula, boleh orang yang menunaikan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, dan sebaliknya; karena semua itu memiliki kesesuaian dalam susunan (tata cara) shalat. Namun, shalat sendirian dalam keadaan seperti ini lebih utama, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap adanya perbedaan pendapat. Sebab meskipun perbedaan itu lemah dan tidak sampai menimbulkan hukum makruh, tetap saja dapat mengurangi kesempurnaan salat. Maka, shalat sendirian, karena disepakati keabsahannya, lebih utama daripada shalat berjamaah yang masih diperselisihkan keabsahannya.." (Said bin Muhammad Ba'ali Baisan, Busyrol Karim, [Jeddah, Darul Minhaj: 2004 M] halaman 349).
Kesimpulannya, hukum bermakmum pada imam yang menjalankan shalat Dzuhur qadha bagi seseorang yang melaksanakan shalat Dzuhur adalah sah, meskipun terdapat perbedaan niat antara makmum dan imam. Hal ini karena keduanya memiliki kesamaan dalam bentuk dan susunan salat. Meski begitu, salat tersebut dihukumi makruh sehingga keutamaan berjamaah tidak diperoleh.
Jakarta:
Salat berjamaah merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam karena keutamaannya yang besar, khususnya dari sisi pahala.
Namun, terkadang ada beberapa situasi yang menimbulkan pertanyaan fikih, salah satunya adalah ketika makmum ikut berjamaah berbeda niat dengan imam. Misalnya, imam melaksanakan salat fardu Zuhur, sementara si makmum berniat melaksanakan salat qadha atau salat sunnah.
Lalu, bagaimana hukum dan keabsahan salat berjamaah dalam kondisi seperti ini? Apakah salat makmum tetap sah meskipun tidak menyamakan niat dengan imam?
Melansir dari
NU Online, dijelaskan bahwa dalam salat jamaah makmum itu memang harus mengikuti imam sebagaimana dijelaskan dalam hadits;
Artinya, "Tidak lain, posisi imam fungsinya untuk diikuti," (Muttafaqun Alaih).
Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Majmu' Syarah Muhadzab menjelaskan maksud dari hadis tersebut adalah imam harus diikuti dalam gerakannya tidak dalam niatnya.
Salah satu syarat sahnya salat berjamaah adalah adanya kesesuaian susunan (nadzm) gerakan salat antara imam dan makmum, meskipun jumlah rakaatnya berbeda. Misalnya, shalat fardu tidak dapat dilakukan dengan bermakmum kepada seseorang yang sedang melaksanakan salat gerhana matahari, gerhana bulan, shalat jenazah, sujud tilawah, atau sujud syukur.
Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian susunan gerakan antara imam dan makmum, sehingga makmum tidak dapat mengikuti gerakan imam secara sempurna, dan jamaahnya menjadi tidak sah.
Sebaliknya, seseorang yang melaksanakan salat fardu tetap sah hukumnya jika bermakmum kepada imam yang sedang melaksanakan shalat sunnah atau shalat qadha, meskipun terdapat perbedaan niat antara imam dan makmum. Hal ini dimungkinkan karena susunan gerakan shalat tetap sesuai, sehingga makmum dapat mengikuti gerakan imam dengan sempurna.
Namun, perlu dicatat bahwa bermakmum kepada imam yang sedang melaksanakan shalat qadha hukumnya makruh dan dapat mengurangi keutamaan salat berjamaah.
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dijelaskan dalam karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami:
Artinya, "Sah (namun makruh karena menghilangkan keutamaan berjamaah) salat Zhuhur di belakang orang yang sedang shalat Ashar, atau sebaliknya; dan shalat di belakang orang yang sedang shalat Maghrib, atau sebaliknya, karena kesamaan dalam tata cara shalat (nizham), meskipun berbeda dalam jumlah rakaat dan niat. Demikian pula dibolehkan orang yang mengqadha shalat bermakmum kepada orang yang sedang menunaikan shalat pada waktunya (ada’), dan sebaliknya; serta orang yang menunaikan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, dan sebaliknya, karena adanya kesesuaian tata cara dalam semua keadaan tersebut." (Minhajul Qawim, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, cetakan pertama: 2000), halaman 158).
Menanggapi kondisi tersebut, Syekh Said Bin Muhammad Ba'ali Baisan dalam Busyrol Karim menyatakan bahwa shalat tetap sah, tetapi hukumnya makruh dan kehilangan keutamaan jamaah.
Namun, shalat sendirian lebih utama daripada salat berjamaah dengan imam yang berbeda niat, untuk menghindari perbedaan pendapat ulama yang menyatakan salat tersebut tidak sah (khuruj minal khilaf).
Artinya, "Makmum yang mengqadha shalat sah untuk bermakmum kepada orang yang sedang menunaikan salat pada waktunya (shalat ada’), begitu pula sebaliknya. Demikian pula, boleh orang yang menunaikan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, dan sebaliknya; karena semua itu memiliki kesesuaian dalam susunan (tata cara) shalat. Namun, shalat sendirian dalam keadaan seperti ini lebih utama, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap adanya perbedaan pendapat. Sebab meskipun perbedaan itu lemah dan tidak sampai menimbulkan hukum makruh, tetap saja dapat mengurangi kesempurnaan salat. Maka, shalat sendirian, karena disepakati keabsahannya, lebih utama daripada shalat berjamaah yang masih diperselisihkan keabsahannya.." (Said bin Muhammad Ba'ali Baisan, Busyrol Karim, [Jeddah, Darul Minhaj: 2004 M] halaman 349).
Kesimpulannya, hukum bermakmum pada imam yang menjalankan shalat Dzuhur qadha bagi seseorang yang melaksanakan shalat Dzuhur adalah sah, meskipun terdapat perbedaan niat antara makmum dan imam. Hal ini karena keduanya memiliki kesamaan dalam bentuk dan susunan salat. Meski begitu, salat tersebut dihukumi makruh sehingga keutamaan berjamaah tidak diperoleh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)