medcom.id, Jakarta: Membangun, bukan sekadar mendirikan gedung-gedung. Pembangunan, kata Soekarno, mesti seiring dengan semangat nation and character building. Pembangunan karakter kebangsaan, tak kalah penting.
Motivasi itu, nyaris selalu muncul dalam setiap proyek pembangunan infrastruktur di awal-awal pendirian bangsa. Utamanya, di ibukota Jakarta.
Di sepanjang tahun 1950-an, DKI Jakarta sebagai simbol Indonesia rajin membangun monumen, hotel, pusat perbelanjaan, stadion, hingga jalan arteri.
"Membangun Jakarta sama dengan membangun tanah air, membangun negara, dan membangun masyarakat," kata Soekarno, sebagaimana dikutip Abidin Kusno dalam Behind Post Colonial, Architecture, Urban Space, and Political Cultures in Indonesia (2000).
Termasuk, kala membangun jembatan Semanggi pada 1962. Soekarno bilang, semangatnya adalah persatuan. Bentuk perlintasan baru itu ia ibaratkan sebagai suh, elemen yang mengikat sapu lidi sehingga tidak mudah tercerai berai.
Semanggi baru
Belakangan, nama Semanggi kembali mencuat. Perkaranya, masih di area yang sama telah dibangun simpang susun guna mengurai pertemuan arus kendaraan dari berbagai arah.
Proyek ini sangat diharapkan bisa mengurangi kemacetan Semanggi yang biasa dijumpai pada pagi, sore, dan malam hari.
Simpang susun Semanggi menjadi yang pertama di Indonesia. Jalan dibangun melengkung (hiperbolik) dengan bentang terpanjang. Proyek yang dimulai sejak April tahun lalu ini siap diresmikan Presiden Joko Widodo pada 17 Agustus 2017 mendatang.
Sama ikoniknya dengan Semanggi lama yang berada di bawahnya, simpang susun Semanggi masih mengadopsi semangat serupa. Yakni, pesan persatuan.
Oleh Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, bentuknya yang mirip empat telinga dimaknai sebagai pertemuan gagasan dari seluruh arah atau empat penjuru mata angin. Sementara pilarnya yang berbentuk 'V' berarti victory, kemenangan bersama.
"Kalau kita ingin jadi bangsa pemenang, kita harus bersatu," kata Djarot. Dan demi persatuan, Djarot pun menolak desakan untuk menamakan infrastruktur baru itu dengan sebutan Badja. Kepanjangan Basuki-Djarot.
Meski begitu, simpang susun Semanggi memang mengantarkan ingatan masyarakat kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama. Bukan lain, Ahoklah yang kali pertama meresmikan proyek pembangunan jalan layang sepanjang 1,8 kilo meter tersebut.
Baca: [Fokus] Basuki di Simpang Susun Semanggi
Ahok pula yang menggenjot agar pembangunan itu tak makan duit APBD. Juga dikerjakan serba cepat, yakni cuma 560 hari kalender kerja.
Dengan gaya khasnya, Ahok pernah marah lantaran pembangunan proyek Simpang Susun Semanggi dianggarkan Rp500 miliar. Ia pun menghitung ulang, jatuhnya cuma butuh Rp360 miliar.
Ahok mengidekan, ongkos pembangunan itu cukup diambil dana kompensasi kelebihan Koefisien Luas Bangunan (KLB) salah satu perusahaan swasta di Jakarta. KLB, merupakan instrumen pembangunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Tapi, takdir bicara lain. Jalan Ahok tak semulus pembangunan simpang susun Semanggi. Ia dipastikan tak bisa menyaksikan acara peresmian dua pekan depan lantaran masih harus menjalani hukuman.
Simpang susun semanggi, dimulai Ahok, dirampungkan Djarot, dan diresmikan Presiden Jokowi.
Terobosan
Simpang susun Semanggi mengandalkan teknologi girder box. Yakni, struktur jembatan beton yang sebagian besarnya berongga. Girder box memiliki panjang tertentu dan disambung satu sama lainnya hingga membentuk jembatan.
Ahok pernah menyebut proyek tersebut sebagai terobosan baru dalam sejarah dunia teknik sipil Indonesia. Seperti halnya jembatan Semanggi yang kala itu dicatat sejarah sebagai infrastruktur pertama yang mengadopsi beton prategang (prestressed concrete) yang dibilang masih jarang.
Baca: Simpang Susun Semanggi jadi Ikon Baru Jakarta
Simpang susun Semanggi terdiri dari dua ruas. Satu ruas diperuntukkan bagi kendaraan dari arah Cawang menuju ke Bundaran Hotel Indonesia (HI), dan satu lainnya, untuk kendaraan dari arah Slipi menuju Blok M.
Studi JICA memunculkan hitungan, jembatan susun ini dapat mempercepat arus lalu lintas di daerah tersebut meningkat hingga 37%. Angka yang sangat berharga bagi kota yang karib dengan kemacetan seperti Jakarta.
Bukankah kemacetan adalah mimpi buruk -yang mau tidak mau- dihadapi warga setiap harinya. Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menyebut, panjang jalanan yang hanya 6.936 kilometer itu terus diteror dengan laju pertumbuhan kendaraan bermotor minimal 16,11 juta unit per tahun.
Sementara Bank Dunia mencatat, sejak 30 tahun lalu kemacetan jalan di DKI Jakarta menimbulkan kerugian materiil negara sebesar USD3 miliar, atau setara Rp40 triliun per tahunnya.
Kehadiran simpang susun, dipercaya mampu mengurangi kemacetan di sekitar Semanggi sebesar 30 hingga 40 persen. Sumbangsih yang cukup berarti bagi pertumbuhan negeri.
Pembangunan simpang susun Semanggi memang menarik untuk diamati. Kehadirannya adalah sebuah revolusi. Apalagi Bung Karno juga pernah bilang, revolusi bukan soal kejadian, melainkan proses yang telah mampu menghadirkan banyak pesan.
medcom.id, Jakarta: Membangun, bukan sekadar mendirikan gedung-gedung. Pembangunan, kata Soekarno, mesti seiring dengan semangat
nation and character building. Pembangunan karakter kebangsaan, tak kalah penting.
Motivasi itu, nyaris selalu muncul dalam setiap proyek pembangunan infrastruktur di awal-awal pendirian bangsa. Utamanya, di ibukota Jakarta.
Di sepanjang tahun 1950-an, DKI Jakarta sebagai simbol Indonesia rajin membangun monumen, hotel, pusat perbelanjaan, stadion, hingga jalan arteri.
"Membangun Jakarta sama dengan membangun tanah air, membangun negara, dan membangun masyarakat," kata Soekarno, sebagaimana dikutip Abidin Kusno dalam
Behind Post Colonial, Architecture, Urban Space, and Political Cultures in Indonesia (2000).
Termasuk, kala membangun jembatan Semanggi pada 1962. Soekarno bilang, semangatnya adalah persatuan. Bentuk perlintasan baru itu ia ibaratkan sebagai
suh, elemen yang mengikat sapu lidi sehingga tidak mudah tercerai berai.
Semanggi baru
Belakangan, nama Semanggi kembali mencuat. Perkaranya, masih di area yang sama telah dibangun simpang susun guna mengurai pertemuan arus kendaraan dari berbagai arah.
Proyek ini sangat diharapkan bisa mengurangi kemacetan Semanggi yang biasa dijumpai pada pagi, sore, dan malam hari.
Simpang susun Semanggi menjadi yang pertama di Indonesia. Jalan dibangun melengkung (hiperbolik) dengan bentang terpanjang. Proyek yang dimulai sejak April tahun lalu ini siap diresmikan Presiden Joko Widodo pada 17 Agustus 2017 mendatang.
Sama ikoniknya dengan Semanggi lama yang berada di bawahnya, simpang susun Semanggi masih mengadopsi semangat serupa. Yakni, pesan persatuan.
Oleh Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, bentuknya yang mirip empat telinga dimaknai sebagai pertemuan gagasan dari seluruh arah atau empat penjuru mata angin. Sementara pilarnya yang berbentuk 'V' berarti
victory, kemenangan bersama.
"Kalau kita ingin jadi bangsa pemenang, kita harus bersatu," kata Djarot. Dan demi persatuan, Djarot pun
menolak desakan untuk menamakan infrastruktur baru itu dengan sebutan Badja. Kepanjangan Basuki-Djarot.
Meski begitu, simpang susun Semanggi memang mengantarkan ingatan masyarakat kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama. Bukan lain, Ahoklah yang kali pertama meresmikan proyek pembangunan jalan layang sepanjang 1,8 kilo meter tersebut.
Baca: [Fokus] Basuki di Simpang Susun Semanggi
Ahok pula yang menggenjot agar pembangunan itu tak makan duit APBD. Juga dikerjakan serba cepat, yakni cuma 560 hari kalender kerja.
Dengan gaya khasnya,
Ahok pernah marah lantaran pembangunan proyek Simpang Susun Semanggi dianggarkan Rp500 miliar. Ia pun menghitung ulang, jatuhnya cuma butuh Rp360 miliar.
Ahok mengidekan, ongkos pembangunan itu cukup diambil dana kompensasi kelebihan Koefisien Luas Bangunan (KLB) salah satu perusahaan swasta di Jakarta. KLB, merupakan instrumen pembangunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Tapi, takdir bicara lain. Jalan Ahok tak semulus pembangunan simpang susun Semanggi. Ia dipastikan tak bisa menyaksikan acara peresmian dua pekan depan lantaran masih harus menjalani hukuman.
Simpang susun semanggi, dimulai Ahok, dirampungkan Djarot, dan diresmikan Presiden Jokowi.
Terobosan
Simpang susun Semanggi mengandalkan teknologi
girder box. Yakni, struktur jembatan beton yang sebagian besarnya berongga.
Girder box memiliki panjang tertentu dan disambung satu sama lainnya hingga membentuk jembatan.
Ahok pernah menyebut proyek tersebut sebagai terobosan baru dalam sejarah dunia teknik sipil Indonesia. Seperti halnya jembatan Semanggi yang kala itu dicatat sejarah sebagai infrastruktur pertama yang mengadopsi beton prategang
(prestressed concrete) yang dibilang masih jarang.
Baca: Simpang Susun Semanggi jadi Ikon Baru Jakarta
Simpang susun Semanggi terdiri dari dua ruas. Satu ruas diperuntukkan bagi kendaraan dari arah Cawang menuju ke Bundaran Hotel Indonesia (HI), dan satu lainnya, untuk kendaraan dari arah Slipi menuju Blok M.
Studi JICA memunculkan hitungan, jembatan susun ini dapat mempercepat arus lalu lintas di daerah tersebut meningkat hingga 37%. Angka yang sangat berharga bagi kota yang karib dengan kemacetan seperti Jakarta.
Bukankah kemacetan adalah mimpi buruk -yang mau tidak mau- dihadapi warga setiap harinya. Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menyebut, panjang jalanan yang hanya 6.936 kilometer itu terus diteror dengan laju pertumbuhan kendaraan bermotor minimal 16,11 juta unit per tahun.
Sementara Bank Dunia mencatat, sejak 30 tahun lalu kemacetan jalan di DKI Jakarta menimbulkan kerugian materiil negara sebesar USD3 miliar, atau setara Rp40 triliun per tahunnya.
Kehadiran simpang susun, dipercaya mampu mengurangi kemacetan di sekitar Semanggi sebesar 30 hingga 40 persen. Sumbangsih yang cukup berarti bagi pertumbuhan negeri.
Pembangunan simpang susun Semanggi memang menarik untuk diamati. Kehadirannya adalah sebuah revolusi. Apalagi Bung Karno juga pernah bilang, revolusi bukan soal kejadian, melainkan proses yang telah mampu menghadirkan banyak pesan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)