medcom.id, Jakarta: Pengamat Politik Djayadi Hanan menyebut wajar jika Kota Jakarta menjadi barometer lantaran posisinya yang merupakan ibu kota dari Indonesia. Kewajaran itu juga sejalan dengan banyaknya peristiwa yang terjadi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua sekarang ini.
"Wajar jika Jakarta jadi barometer karena posisinya sebagai Ibu Kota Indonesia dan penting juga Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan tapi juga pusat bisnis atau pusat ekonomi Indonesia. Jadi, ibu kota administrasi pemerintahan sekaligus ibu kota ekonomi Indonesia," kata Djayadi, dalam program
Pilihan Jakarta MetroTV, di Jakarta, Rabu 19 April 2017.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua termasuk hadirnya peristiwa politik menjadi diperhatikan dari berbagai sudut terutama aspek ekonomi. Namun, yang terpenting adalah sejumlah peristiwa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta tersebut tidak menganggu aktivitas atau momentum pertumbuhan ekonomi.
"Jadi memang peristiwa politik diperhatikan dari berbagai sudut terutama ekonomi karena kita tahu politik dan ekonomi selalu terkait. Pilkada DKI Jakarta ini memang menjadi perhatian dan penting untuk menjaga Pilkada DKI Jakarta ini berjalan dengan sukses. Hajatan banyak pihak," tuturnya.
Lebih lanjut, kata Djayadi, suasana pesta demokrasi terasa kurang kuat saat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Adapun suasana ketegangan justru terjadi di ruang virtual seperti di media sosial atau media massa secara umum. Namun, ia berharap ketegangan tersebut tidak memberikan efek buruk secara signifikan.
Moderator debat Ira Koesno (kanan) mengajak pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kanan) serta Sandiaga Uno (ketiga kanan) dan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kedua kiri) serta Djarot Saiful Hidayat (ketiga kiri) berswafoto (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Adapun dirinya mengibaratkan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sekarang ini seperti lomba tinju karena pertarungannya bersifat head to head. Sedangkan Pilkada DKI Jakarta putaran pertama diibaratkan seperti lomba lari. Kondisi seperti itu yang ia nilai membuat pesta demokrasi tidak terlalu tegang seperti yang terjadi di putaran pertama.
"Jadi, tidak tegang. Kemudian ketegangan dimanifestasikan pembelahan isu sehingga suasana pesta demokrasi kurang mengemuka meski memang suasana ketegangan banyak di ruang-ruang virtual seperti di media sosial atau media massa secara umum. Untungnya tidak mengarah ke fisik karena ketika ada potensi langsung dicegah pihak keamanan," pungkasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((ABD))