Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno. Foto: MTVN/Faisal Abdalla.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno. Foto: MTVN/Faisal Abdalla.

Gaya Sandi Berkomunikasi

Yanurisa Ananta • 14 Desember 2017 08:53
Jakarta: Gaya pemimpin Jakarta, khususnya Sandiaga Uno, banyak mendapat perhatian sejak dilantik menjadi wakil gubernur DKI. Sejak menjabat pada Oktober 2017, ia sudah menjadi pembicaraan.
 
Saat hari pertama ngantor di Balai Kota, dia tidak memakai sepatu kerja, tetapi sepatu olahraga dan celana pakaian dinas harian tanpa ikat pinggang. Tampilannya menjadi berbeda dengan pejabat teras Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.
 
Kini Sandi disorot karena gaya bahasanya. Ucapan Sandi sering menggelitik dan membuat wartawan saling pandang karena jawabannya tidak sejajar dengan pertanyaan.

Hal itu terlihat saat dia ditanya soal perbedaan rumah susun dan rumah lapis. Ia menyatakan, "Konsepnya adalah lapis 1, lapis 2, lapis 3, dan itu yang menurut kami harus digunakan adalah konsep vertikal. Namun, jangan dibayangkan 16 lantai gitu," cetus dia.
 
Pengamat komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Dodi Ambardi berpandangan gaya komunikasi Sandi yang biasa berbicara dengan kalimat tidak terstruktur berpotensi menurunkan kredibilitas. Bila itu tetap berlanjut, bisa jadi pesannya ditangkap dengan salah paham oleh masyarakat, media, maupun satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
 
"Kalau struktur tidak jelas bisa membuat SKPD bingung. Apalagi permasalahan sosial Jakarta banyak sekali. Kalau instruksi tidak jelas, arah kebijakan juga tidak jelas," kata Dodi kepada Media Indonesia, Selasa, 12 Desember 2017.
 
Dodi mengingatkan, dari masa ke masa, karakter gubernur Jakarta terkenal jernih dalam berlogika. Mantan Gubernur Fauzi Bowo yang kental dengan budaya Betawi juga cenderung berkomunikasi dengan lugas.
 
Presiden Joko Widodo yang berlatar kultur Jawa relatif sopan dan omongannya jernih saat menjadi memimpin Ibu Kota. Mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga dikenal lugas.
 
Salah satu pernyataan Sandiaga Uno yang viral ialah saat ia ditanya wartawan soal banjir di Jakarta, Senin, 11 Desember 2017. Sandi menjawab, "Ini adalah fenomena alam. Allah lagi ngirimin hujan."
 
Menurut Dodi, Sandi hanya menyatakan sesuatu yang sudah pasti (stating the obvious). Padahal, maksud pertanyaan wartawan, bagaimana Sandi mencegah dan mengantisipasi ancaman banjir agar tidak lagi separah hari itu yang membuat Jakarta lumpuh.
 
"Mestinya kan jawabannya bagaimana cara mengatasinya, kan begitu. Bukan soal keimanan. Saya melihat perkataan Sandi berlepotan. Kadang logikanya terkilir menjadi tidak jernih dan cara menyelesaikan persoalan hubungan sebab-akibatnya tidak ketemu," tegas Dodi.
 
Baca: Pedagang Keberatan PKL Diistimewakan
 
Dalam beberapa pernyataannya, Sandi pun cukup sering menggunakan bahasa Inggris. Namun, hal itu pun dinilai hanya sebagai branding untuk menciptakan citra yang terdidik, elite, dan berkelas.
 
Gaya ini bisa merugikan dirinya sendiri jika terjadi kekeliruan. Terlebih, masyarakat belum tentu menangkap makna yang jelas. "Tidak to the point akan menurunkan kredibilitas," lanjut dia.
 
Sementara itu, Gubernur Anies Baswedan dinilai cenderung berlogika dengan baik. Artikulasinya juga tertata. Akan tetepi, ada kecenderungan Anies ingin berbeda dengan pendahulunya, Ahok, yang secara objektif kerja kerasnya diakui.
 
Namun, Dodi meminta masyarakat untuk bersangka baik selama satu tahun apakah ada perubahan dalam cara komunikasi politik kedua pemimpin Jakarta itu. "Untuk orang baru kita harus berprasangka baik dulu," imbuh dia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan