Ilustrasi lalu lintas kendaraan bermotor di Jakarta. MI/Ramdani
Ilustrasi lalu lintas kendaraan bermotor di Jakarta. MI/Ramdani

Pengamat: Jangan Terpaku pada ERP, Banyak Solusi Mengatasi Kemacetan Jakarta

Achmad Zulfikar Fazli • 15 Februari 2023 00:05
Jakarta: Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan sistem electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar menuai sorotan dari berbagai kalangan. Pemprov DKI dinilai perlu melakukan kajian yang benar-benar merepresentasikan perilaku mobilitas publik agar kebijakan ini berjalan efektif.
 
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Joga, mengatakan Pemprov DKI Jakarta harus mengkaji ulang beberapa poin penting dan tidak terpaku pada opsi ERP. Salah satunya, pemilihan 25 ruas jalan harus mensyaratkan lebar jalur yang ada.
 
“Yang paling penting, di ruas jalan tersebut sudah ada transportasi publik yang memenuhi syarat seperti dekat lokasi perkantoran. Tujuan utamanya tentu adalah untuk mengurai kemacetan lalu lintas, sehingga mendorong masyarakat untuk pindah ke angkutan umum,” ungkap Nirwono dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Februari 2023.

Menurut Nirwono, baru ada beberapa ruas jalan yang paling siap fasilitas angkutan publiknya. Seperti Jalan Sudirman-Thamrin, MT Haryono, Gatot Subroto, dan Rasuna Said. Sementara itu, beberapa ruas jalan lain masih ada permukiman, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut akan merasa dirugikan.
 
Pemprov DKI, lanjut dia, juga harus memperhatikan sasaran ERP untuk warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sementara itu, warga di luar Jabodetabek yang hanya sesekali melewati jalan tersebut, kemungkinan tidak punya aplikasi ERP di kendaraannya.
 
“ERP ini sebaiknya jangan diberlakukan dulu di lokasi-lokasi yang ada permukimannya. Masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun di situ dan belum tentu menggunakan transportasi publik pasti akan komplain. Pertanyaannya, apakah kalau ERP ini diterapkan, kemacetan akan berkurang? Belum tentu juga kan,” ujar dia.
 

Baca Juga: Ingin Dikaji Ulang, Bapemperda Tegaskan Pemprov DKI Harus Tarik Raperda Terkait ERP


Nirwono mengatakan sejatinya ada beberapa opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kemacetan. Salah satunya adalah pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, tarif parkirnya semakin mahal.
 
Selain itu, perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat dengan transportasi publik. “Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas,” jelas pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti ini. 
 
Terpenting, kata Nirwono, adalah menata kawasan secara keseluruhan. Sebelum menerapkan ERP, sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sudah menerapkan sistem 3 in 1 dan ganjil genap.
 
Namun, upaya-upaya yang sejatinya diciptakan untuk mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan sibuk tersebut, terbukti tidak berjalan efektif dalam mengurai kemacetan dan berulang-kali dievaluasi.
 
“Hal ini terjadi karena sistem transportasi publik kita belum bisa diandalkan, integrasinya belum siap sehingga biaya menggunakan transportasi publik ini menjadi cukup mahal. Karena itu, transportasi publik harus dibenahi dulu, baru kemudian ERP diterapkan,” ungkap dia.
 
Belakangan ini di tengah masifnya pembangunan transportasi publik, keterbatasan kapasitas transportasi publik dalam menampung mobilitas penduduk kembali menjadi sorotan. Seperti fenomena menumpuknya penumpang commuter line di stasiun Manggarai pada jam-jam sibuk.
 
Di saat yang sama keterisian belum dapat mencapai terget Pemprov DKI Jakarta sebanyak 70 ribu penumpang setiap harinya.
 
Dia menilai jika pemerintah memaksakan penerapan ERP, akan berdampak luas pada aktivitas masyarakat dan semakin membuat lebar kesenjangan sosial. Contohnya, para pengguna ojek online yang kabarnya juga akan dikenakan tarif ERP. Siapa yang harus membayar biaya ERP, apakah masyarakat, driver, atau aplikator, tentu akan menjadi perdebatan kembali. 
 
“Kalau aplikator maupun driver ojol yang dikenakan, maka ada tambahan beban biaya di mereka. Sementara jika biaya tersebut dibebankan ke pelanggan dengan cara menaikkan tarif, akan membebani masyarakat dan ojol akan kehilangan pelanggan,” tutur dia.
 
Dampak paling akhir adalah jika seluruh biaya operasional masyarakat di Ibu Kota semakin tinggi, bukan tidak mungkin pelaku bisnis akan hengkang dan memindahkan kantor mereka ke luar Jakarta.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan