Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memanggil 27 perusahaan farmasi terkait temuan kandungan parasetamol di Teluk Jakarta. KLHK akan mendalami pengolahan limbah di 27 perusahaan tersebut.
"Dan bagaimana (mereka) melakukan pengelolaan obat bekas kedaluwarsa," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam konferensi pers virtual, Selasa, 5 Oktober 2021.
Menurut dia, perusahaan-perusahaan itu dipanggil dalam dua minggu ke depan. Saat ini, Vivien menyatakan KLHK belum memiliki dugaan dari mana asal kandungan parasetamol yang mencemari Teluk Jakarta.
Baca: Parasetamol di Teluk Jakarta, PUPR Minta Pemda Bereskan Limbah B3
Berdasarkan analisis peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kandungan parasetamol tersebut tidak memiliki dampak signifikan kepada kesehatan manusia. Namun, pencemaran ini perlu diantisipasi.
"Paracetamol merupakan emerging pollutants. Di WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) saja standar baku mutunya belum ada," beber Vivien.
Namun demikian, ia memastikan KLHK bersama peneliti akan membuat kajian untuk mengidentifikasi emerging pollutants yang ada di lingkungan. Hal ini diperlukan dalam pembuatan kebijakan terkait.
Plt Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Relianto mengungkapkan untuk membuat kebijakan mengenai emerging pollutants, banyak hal yang harus dilakukan. Salah satu tantangannya, ialah senyawa emerging pollutants memiliki ukuran sangat kecil, mulai dari mikrogram dan nanogram.
"Ini sangat kecil sehingga alat kita tidak bisa menjangkau sampai ke situ," beber Sigit.
Selain itu, banyaknya bahan kimia yang tercatat membuat KLHK harus menyusun skala prioritas untuk membuat regulasi, mana sekiranya senyawa kontaminan yang harus diatur terlebih dahulu. Efek samping polutan ini akan menjadi pertimbangan utama.
"Ini perlu data dampak pada manusia, ekosistem, dan kita juga harus melihat dominan ada di mana sehingga cara mengatur akan berbeda," imbuh Sigit.
Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memanggil 27 perusahaan farmasi terkait temuan
kandungan parasetamol di Teluk Jakarta. KLHK akan mendalami pengolahan limbah di 27 perusahaan tersebut.
"Dan bagaimana (mereka) melakukan pengelolaan obat bekas kedaluwarsa," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3)
KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam konferensi pers virtual, Selasa, 5 Oktober 2021.
Menurut dia, perusahaan-perusahaan itu dipanggil dalam dua minggu ke depan. Saat ini, Vivien menyatakan KLHK belum memiliki dugaan dari mana asal kandungan parasetamol yang mencemari Teluk Jakarta.
Baca:
Parasetamol di Teluk Jakarta, PUPR Minta Pemda Bereskan Limbah B3
Berdasarkan analisis peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kandungan parasetamol tersebut tidak memiliki dampak signifikan kepada kesehatan manusia. Namun, pencemaran ini perlu diantisipasi.
"Paracetamol merupakan
emerging pollutants. Di WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) saja standar baku mutunya belum ada," beber Vivien.
Namun demikian, ia memastikan KLHK bersama peneliti akan membuat kajian untuk mengidentifikasi
emerging pollutants yang ada di lingkungan. Hal ini diperlukan dalam pembuatan kebijakan terkait.
Plt Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Relianto mengungkapkan untuk membuat kebijakan mengenai
emerging pollutants, banyak hal yang harus dilakukan. Salah satu tantangannya, ialah senyawa
emerging pollutants memiliki ukuran sangat kecil, mulai dari mikrogram dan nanogram.
"Ini sangat kecil sehingga alat kita tidak bisa menjangkau sampai ke situ," beber Sigit.
Selain itu, banyaknya bahan kimia yang tercatat membuat KLHK harus menyusun skala prioritas untuk membuat regulasi, mana sekiranya senyawa kontaminan yang harus diatur terlebih dahulu. Efek samping polutan ini akan menjadi pertimbangan utama.
"Ini perlu data dampak pada manusia, ekosistem, dan kita juga harus melihat dominan ada di mana sehingga cara mengatur akan berbeda," imbuh Sigit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)