Jakarta: Rencana pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) harus disusun secara matang. Juru kampanye urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi menilai PLTSa memiliki risiko yang dapat menyebabkan kanker.
“Ketika sampah plastik bercampur jenis sampah lain dibakar, sangat berpotensi melepas material berbahaya ke udara seperti dioksin yang bisa memicu kanker,” kata Atha kepada Medcom.id, Selasa 23 Juli 2019.
Atha mengatakan sampah plastik harus dibakar agar menjadi energi listrik. Pemerintah harus memilah sampah plastik secara optimal. Penerapan PLTSa tak segampang membakar sampah menjadi energi listrik.
Ia mengimbau pemerintah melihat komposisi sampah di Jakarta, bahkan Indonesia. Secara umum, jenis sampah di Indonesia adalah sampah organik dan sampah basah. Jumlah sampah organik mencapai 60 persen.
Baca: Pergub Jadi Langkah Awal Pengurangan Sampah Plastik
Pengolahan sampah organik kurang tepat jika dibakar. Atha menyarankan sampah organik diolah menjadi pupuk kompos. Pemerintah, kata dia, sebaiknya fokus pada pemilahan sampah organik dan plastik.
“Kita perlu melihat apakah sampah tercampur lalu dibakar benar-benar efisien menghasilkan energi dan dampak yang ditimbulkan,” ujar Atha.
Selain itu, Atha meminta pemerintah membuat peraturan khusus mengenai tanggung jawab dan peran produsen plastik. Ia menyebut selama ini belum ada peraturan menteri terkait hal itu. Semua pihak harus memiliki tanggung jawab mengolah sampah.
“Jadi sementara saya lihat PLTSa bukan jadi solusi tepat untuk diterapkan karena perlu ada hitung-hitungan,” pungkas Atha.
Jakarta: Rencana pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) harus disusun secara matang. Juru kampanye urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi menilai PLTSa memiliki risiko yang dapat menyebabkan kanker.
“Ketika sampah plastik bercampur jenis sampah lain dibakar, sangat berpotensi melepas material berbahaya ke udara seperti dioksin yang bisa memicu kanker,” kata Atha kepada
Medcom.id, Selasa 23 Juli 2019.
Atha mengatakan sampah plastik harus dibakar agar menjadi energi listrik. Pemerintah harus memilah sampah plastik secara optimal. Penerapan PLTSa tak segampang membakar sampah menjadi energi listrik.
Ia mengimbau pemerintah melihat komposisi sampah di Jakarta, bahkan Indonesia. Secara umum, jenis sampah di Indonesia adalah sampah organik dan sampah basah. Jumlah sampah organik mencapai 60 persen.
Baca: Pergub Jadi Langkah Awal Pengurangan Sampah Plastik
Pengolahan sampah organik kurang tepat jika dibakar. Atha menyarankan sampah organik diolah menjadi pupuk kompos. Pemerintah, kata dia, sebaiknya fokus pada pemilahan sampah organik dan plastik.
“Kita perlu melihat apakah sampah tercampur lalu dibakar benar-benar efisien menghasilkan energi dan dampak yang ditimbulkan,” ujar Atha.
Selain itu, Atha meminta pemerintah membuat peraturan khusus mengenai tanggung jawab dan peran produsen plastik. Ia menyebut selama ini belum ada peraturan menteri terkait hal itu. Semua pihak harus memiliki tanggung jawab mengolah sampah.
“Jadi sementara saya lihat PLTSa bukan jadi solusi tepat untuk diterapkan karena perlu ada hitung-hitungan,” pungkas Atha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)