Jakarta: Ombudsman mengimbau Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mengutamakan penyusunan peraturan daerah (Perda) yang mengatur protokol kesehatan ketimbang perda utilitas. Sebab, perda protokol kesehatan memilki unsur kedaruratan.
“Perda jaringan utilitas tidak memenuhi unsur kedaruratan. Justru permintaan Ombudsman DKI adalah Pemprov DKI segera membuat perda protokol kesehatan. Perda ini memenuhi unsur kedaruratan, bencana dan pandemic yang saat ini masih melanda Indonesia,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman DKI Jakarta, Teguh Nugroho, Rabu, 5 Agustus 2020.
Menurut Teguh aturan protokol kesehatan tidak cukup dengan peraturan gubernur (Pergub). Pemprov DKI tidak bisa menggenakan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Selain itu, sanksi kepada masyarakat melalui pergub rawan digugat ke PTUN.
“Jika ngotot membahas perda utilitas yang tak memenuhi unsur kedaruratan, dicurigai ada kepentingan tertentu dalam pembahasan regulasi jaringan utilitas. Ada potensi praktik monopoli terhadap jaringan utilitas di Jakarta,” ujarnya.
Teguh mengungkapkan, Ombudsman DKI sedang mendalami beberapa kasus di BUMD DKI Jakarta yang melakukan kontrak dengan pihak ke tiga yang wanprestasi. “Celakanya BUMD tersebut tak melakukan upaya penagihan. Dan itu berpotensi merugikan keuangan Pemda,” kataTeguh.
Baca: Ombudsman Sebut Sewa Sarana Utilitas DKI Berpotensi Malaadministrasi
Teguh memberi contoh Pembangunan Jaya Ancol yang melakukan kerja sama sewa dengan badan usaha untuk menggelola stadion di Ancol. Dalam praktiknya, stadion tersebut disewakan kembali ke pihak lain oleh penyewa.
“Anehnya penyewa pertama tak membayar ke Pembangunan Jaya Ancol. Namun penyewa pertama menagihkan sewa ke penyewa ke dua. Bahkan penyewa pertama stadion sudah putus kontrak 3 kali. Namun, mereka masih berkesempatan menyewa dari BUMD,” ujarnya.
Ombudsman DKI juga menemukan modus itu di PD Sarana Jaya dengan aset Harco Mangga Dua. Harga di Harco sangat tinggi, namun pengelola Harco membayar ke PD Sarana Jaya sangat murah.
“Saya khawatir jika jaringan utilitas dimonopoli Jakpro, harga sewa menjadi mahal. Apa jaminannya Jakpro tak meritailkan lagi seperti dalam kasus PD Sarana Jaya dan Pembangunan Jaya Ancol. Apakah Jakpro bisa melakukan pengawasan,”ungkap Teguh.
Teguh mengimbau Pemprov DKI mendahulukan perda kedaruratan serta mempelajari kontrak-kontrak yang dilakukan BUMD terkait bersama pihak ke tiga.
“Harusnya uji publik, apakah mampu atau tidak. Jangan sampai dia bermasalah seperti BUMD lainnya dalam menggelola aset Pemda. Jangan sampai melimpahkan penggelolaan asset ke pihak lain yang berpotensi menimbulkan masalah,”ujar Teguh.
Jakarta: Ombudsman mengimbau Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mengutamakan penyusunan peraturan daerah (Perda) yang mengatur protokol kesehatan ketimbang perda utilitas. Sebab, perda protokol kesehatan memilki unsur kedaruratan.
“Perda jaringan utilitas tidak memenuhi unsur kedaruratan. Justru permintaan Ombudsman DKI adalah Pemprov DKI segera membuat perda protokol kesehatan. Perda ini memenuhi unsur kedaruratan, bencana dan pandemic yang saat ini masih melanda Indonesia,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman DKI Jakarta, Teguh Nugroho, Rabu, 5 Agustus 2020.
Menurut Teguh aturan protokol kesehatan tidak cukup dengan peraturan gubernur (Pergub). Pemprov DKI tidak bisa menggenakan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Selain itu, sanksi kepada masyarakat melalui pergub rawan digugat ke PTUN.
“Jika ngotot membahas perda utilitas yang tak memenuhi unsur kedaruratan, dicurigai ada kepentingan tertentu dalam pembahasan regulasi jaringan utilitas. Ada potensi praktik monopoli terhadap jaringan utilitas di Jakarta,” ujarnya.
Teguh mengungkapkan, Ombudsman DKI sedang mendalami beberapa kasus di BUMD DKI Jakarta yang melakukan kontrak dengan pihak ke tiga yang wanprestasi. “Celakanya BUMD tersebut tak melakukan upaya penagihan. Dan itu berpotensi merugikan keuangan Pemda,” kataTeguh.
Baca:
Ombudsman Sebut Sewa Sarana Utilitas DKI Berpotensi Malaadministrasi
Teguh memberi contoh Pembangunan Jaya Ancol yang melakukan kerja sama sewa dengan badan usaha untuk menggelola stadion di Ancol. Dalam praktiknya, stadion tersebut disewakan kembali ke pihak lain oleh penyewa.
“Anehnya penyewa pertama tak membayar ke Pembangunan Jaya Ancol. Namun penyewa pertama menagihkan sewa ke penyewa ke dua. Bahkan penyewa pertama stadion sudah putus kontrak 3 kali. Namun, mereka masih berkesempatan menyewa dari BUMD,” ujarnya.
Ombudsman DKI juga menemukan modus itu di PD Sarana Jaya dengan aset Harco Mangga Dua. Harga di Harco sangat tinggi, namun pengelola Harco membayar ke PD Sarana Jaya sangat murah.
“Saya khawatir jika jaringan utilitas dimonopoli Jakpro, harga sewa menjadi mahal. Apa jaminannya Jakpro tak meritailkan lagi seperti dalam kasus PD Sarana Jaya dan Pembangunan Jaya Ancol. Apakah Jakpro bisa melakukan pengawasan,”ungkap Teguh.
Teguh mengimbau Pemprov DKI mendahulukan perda kedaruratan serta mempelajari kontrak-kontrak yang dilakukan BUMD terkait bersama pihak ke tiga.
“Harusnya uji publik, apakah mampu atau tidak. Jangan sampai dia bermasalah seperti BUMD lainnya dalam menggelola aset Pemda. Jangan sampai melimpahkan penggelolaan asset ke pihak lain yang berpotensi menimbulkan masalah,”ujar Teguh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)