Jakarta: Presentase jumlah pengguna angkutan umum di Ibu Kota pada 2017 sangat menyedihkan. Dari 10 juta lebih penduduk Jakarta, hanya 18% yang memanfaakan angkutan kota.
"Pernah 52 persen pada 1980. Saat ini menurun, efeknya angkutan umum tersisih," kata Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Iskandar Abubakar di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Januari 2018.
Iskandar menyebut penggerus utama penumpang angkutan umum adalah pertumbuhan kendaraan pribadi. Celakanya, tak ada satu pun regulasi yang mengatur tentang pembelian kendaraan pribadi. Hanya pengaturan tentang pajak kepemilikan kendaraan progresif yang punya banyak celah.
"Sekarang ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi. Sebab, kalau tak dikendalikan efeknya ya orang enggak mau pakai angkutan umum, macet. Itu yang kita alami saat ini," ucap Iskandar.
Baca: Standarisasi Angkutan Umum Agar Masyarakat Beralih dari Kendaraan Pribadi
Kini, pemerintah tengah gencar mengkaliberasi fasilitas angkutan umum di Ibu Kota. Pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT), Light Rapid Transportation (LRT) tengah dikebut. Iskandar mendukung tindakan pemerintah ini.
"Sangat penting melakukan pembatasan kendaraan pribadi, dan MRT ini merupakan alat yang tepat untuk mengurangi itu," katanya.
Fasilitas kendaraan umum yang cepat dan sanggup mengangkut banyak penumpang, menjadi opsi bagi masyarakat Jakarta. Mereka membutuhkan kendaraan anti-macet yang berkapasitas besar.
Apalagi MRT dan LRT dijanjikan tarifnya sangat terjangkau. Iskandar memberi catatan khusus soal tarif. Sebab menurutnya masyarakat Jakarta sangat sensitif terhadap harga angkutan.
Hal ini terbukti dengan Angkutan Sewa Khusus (ASK) atau taksi online yang laris manis, karena harganya relatif lebih murah.
"Kalau kantong pengguna kena (tarif), mereka akan beralih ke angkutan umum. Jadi sebenarnya secara ilmu transportasi dipengaruhinya melalui biaya transportasi," sebut Iskandar.
Jakarta: Presentase jumlah pengguna angkutan umum di Ibu Kota pada 2017 sangat menyedihkan. Dari 10 juta lebih penduduk Jakarta, hanya 18% yang memanfaakan angkutan kota.
"Pernah 52 persen pada 1980. Saat ini menurun, efeknya angkutan umum tersisih," kata Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Iskandar Abubakar di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Januari 2018.
Iskandar menyebut penggerus utama penumpang angkutan umum adalah pertumbuhan kendaraan pribadi. Celakanya, tak ada satu pun regulasi yang mengatur tentang pembelian kendaraan pribadi. Hanya pengaturan tentang pajak kepemilikan kendaraan progresif yang punya banyak celah.
"Sekarang ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan kendaraan pribadi. Sebab, kalau tak dikendalikan efeknya ya orang enggak mau pakai angkutan umum, macet. Itu yang kita alami saat ini," ucap Iskandar.
Baca: Standarisasi Angkutan Umum Agar Masyarakat Beralih dari Kendaraan Pribadi
Kini, pemerintah tengah gencar mengkaliberasi fasilitas angkutan umum di Ibu Kota. Pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT), Light Rapid Transportation (LRT) tengah dikebut. Iskandar mendukung tindakan pemerintah ini.
"Sangat penting melakukan pembatasan kendaraan pribadi, dan MRT ini merupakan alat yang tepat untuk mengurangi itu," katanya.
Fasilitas kendaraan umum yang cepat dan sanggup mengangkut banyak penumpang, menjadi opsi bagi masyarakat Jakarta. Mereka membutuhkan kendaraan anti-macet yang berkapasitas besar.
Apalagi MRT dan LRT dijanjikan tarifnya sangat terjangkau. Iskandar memberi catatan khusus soal tarif. Sebab menurutnya masyarakat Jakarta sangat sensitif terhadap harga angkutan.
Hal ini terbukti dengan Angkutan Sewa Khusus (ASK) atau taksi online yang laris manis, karena harganya relatif lebih murah.
"Kalau kantong pengguna kena (tarif), mereka akan beralih ke angkutan umum. Jadi sebenarnya secara ilmu transportasi dipengaruhinya melalui biaya transportasi," sebut Iskandar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)