Jakarta: Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan mengingatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tak jemawa dengan turunnya kemacetan di Ibu Kota. Masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah (PR) Pemprov DKI.
"Membaiknya itu tetap macet juga. Jangan jadi patokan sudah membaik," kata Azas kepada Medcom.id, Rabu, 19 Juni 2019.
Menurut dia, kemacetan yang terjadi di Jakarta membuat kerugian hingga Rp168 triliun. Angka itu merupakan akumulasi dari berbagai faktor.
"Komponen kerugiannya adalah waktu produktif, pemborosan bahan bakar minyak (BBM), dan masyarakat terkena polusi sehingga sakit pernapasan," jelas Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) itu.
Selain itu, dia menyebut turunnya kemacetan bukan hanya prestasi individu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Azas menyebut mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok turut berupaya menurunkan kemacetan.
"Aturan ganjil-genap yang dibuat Ahok menggantikan sistem three in one ada hasilnya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi," tutur dia.
Hal senada disampaikan pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Dia menyebut turunnya angka kemacetan karena sinergi berbagai pihak.
Baca: Sejumlah Faktor Menurunnya Kemacetan di Jakarta
Djoko mengatakan perbaikan dan penambahan sarana serta prasarana transportasi menjadi salah satu faktornya. Misalnya, pemerintah memperbaiki flyover dan underpass.
"Selain itu ada jalan layang Bus Transjakarta," kata Djoko kepada Medcom.id.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) juga berperan secara tidak langsung. Mereka memiliki rencana induk membuat transportasi publik di Jabodetabek. Hadirnya transportasi itu diharapkan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
"Selain itu instansi lain seperti PT KAI (Kereta Api Indonesia) juga berperan dengan menambah jaringan kereta," imbuh Djoko.
Sementara itu, Azas meminta pemerintah melanjutkan upaya mengurangi kemacetan. Pemerintah perlu membangun program pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi berupa atau restribusi jalan berbayar elektronik (ERP) dan manajemen parkir mahal.
"Serta dilakukan perbaikan sistem layanan angkutan umum massal yang sudah ada dengan sistem terintegrasi dalam layanan angkutan umum massal di Jakarta," pungkas Azas.
Dalam survei yang dirilis TomTom Traffic Index, Jakarta menempati urutan ketujuh negara dengan tingkat kemacetan paling tinggi. Sebelumnya, Jakarta ada di peringkat empat.
Posisi pertama ditempati Mumbai dengan presentase 65 persen. Bogota di posisi kedua dengan persentase 63 persen, Lima 58 persen, New Delhi 58 persen, Moscow Region 56 persen, dan posisi keenam ada Istanbul dengan tingkat kemacetan 53 persen.
Jakarta: Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan mengingatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tak jemawa dengan turunnya kemacetan di Ibu Kota. Masih banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah (PR) Pemprov DKI.
"Membaiknya itu tetap macet juga. Jangan jadi patokan sudah membaik," kata Azas kepada
Medcom.id, Rabu, 19 Juni 2019.
Menurut dia, kemacetan yang terjadi di Jakarta membuat kerugian hingga Rp168 triliun. Angka itu merupakan akumulasi dari berbagai faktor.
"Komponen kerugiannya adalah waktu produktif, pemborosan bahan bakar minyak (BBM), dan masyarakat terkena polusi sehingga sakit pernapasan," jelas Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) itu.
Selain itu, dia menyebut turunnya kemacetan bukan hanya prestasi individu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Azas menyebut mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok turut berupaya menurunkan kemacetan.
"Aturan ganjil-genap yang dibuat Ahok menggantikan sistem
three in one ada hasilnya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi," tutur dia.
Hal senada disampaikan pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Dia menyebut turunnya angka kemacetan karena sinergi berbagai pihak.
Baca: Sejumlah Faktor Menurunnya Kemacetan di Jakarta
Djoko mengatakan perbaikan dan penambahan sarana serta prasarana transportasi menjadi salah satu faktornya. Misalnya, pemerintah memperbaiki flyover dan underpass.
"Selain itu ada jalan layang Bus Transjakarta," kata Djoko kepada Medcom.id.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) juga berperan secara tidak langsung. Mereka memiliki rencana induk membuat transportasi publik di Jabodetabek. Hadirnya transportasi itu diharapkan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
"Selain itu instansi lain seperti PT KAI (Kereta Api Indonesia) juga berperan dengan menambah jaringan kereta," imbuh Djoko.
Sementara itu, Azas meminta pemerintah melanjutkan upaya mengurangi kemacetan. Pemerintah perlu membangun program pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi berupa atau restribusi jalan berbayar elektronik (ERP) dan manajemen parkir mahal.
"Serta dilakukan perbaikan sistem layanan angkutan umum massal yang sudah ada dengan sistem terintegrasi dalam layanan angkutan umum massal di Jakarta," pungkas Azas.
Dalam survei yang dirilis TomTom Traffic Index, Jakarta menempati urutan ketujuh negara dengan tingkat kemacetan paling tinggi. Sebelumnya, Jakarta ada di peringkat empat.
Posisi pertama ditempati Mumbai dengan presentase 65 persen. Bogota di posisi kedua dengan persentase 63 persen, Lima 58 persen, New Delhi 58 persen, Moscow Region 56 persen, dan posisi keenam ada Istanbul dengan tingkat kemacetan 53 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)