medcom.id, Jakarta: Pengamat Tata Kota Nirwono Joga mengatakan tudingan bahwa penyebab lalu lintas semrawut dan kemacetan adalah pejalan kaki merupakan pemikiran yang salah. Pejalan kaki justru pemilik kasta tertinggi dalam konsep transportasi.
Menurut Joga, dalam konsep transportasi kota, hal paling utama adalah trotoar sebagai tempat nyaman bagi pejalan kaki untuk berlalu lintas. Baru kemudian didukung aktivitas angkutan massal.
"Kendaraan pribadi baik motor atau mobil justru ada pada kasta paling rendah. Pemahaman ini yang sering terbolak-balik," ujar Joga, dalam Metro Pagi Primetime, Jumat 10 November 2017.
Joga mengatakan selama ini orang mengutamakan kemudahan dalam berkegiatan menggunakan kendaraan. Motor dan mobil sering kali ditempatkan paling tinggi di atas pejalan kaki. Pemahaman yang salah inilah yang menyebabkan mengapa pejalan kaki sulit mendapatkan haknya ketika menggunakan trotoar.
Baca juga: Pejalan Kaki tidak Mungkin Jadi Penyebab Kemacetan
Padahal, kata Dia, DKI sebelum berganti pemimpin sempat menerapkan kebijakan bulan tertib trotoar untuk mengembalikan hak pejalan kaki atas trotoar yang ada di ibu kota. Joga menyayangkan mengapa kebijakan ini tidak diteruskan oleh pemimpin yang baru.
"Bicara Tanah Abang kan bagian dari program bulan tertib trotoar tadi. Jadi ada kebijakan yang terputus padahal seharusnya dioptimalkan terus," katanya.
Di sisi lain, Joga mengatakan bahwa budaya masyarakat untuk berjalan kaki dan beralih ke transportasi massal sudah mulai tumbuh. Artinya membangun budaya baru seharusnya didukung dengan integrasi transportasi dan kemudahan pejalan kaki untuk menjangkaunya.
Secara teknis, kata Dia, bentuk trotoar sudah standar dan cukup ramah bagi pejalan kaki maupun penyandang disabilitas.Yang jadi persoalan, trotoar sebagus apapun jika tidak sesuai peruntukannya maka selama itu juga tidak akan berfungsi maksimal.
Baca juga: Sandi Sebut Pejalan Kaki Sebabkan Tanah Abang Semrawut
"Di sinilah kelemahan Kita, penegakan hukum harus konsisten oleh semua pihak. Misalnya begitu motor naik trotoar mau enggak kepolisian langsung tilang untuk memberikan efek jera. Atau kalau ada PKL Satpol PP langsung turun, jangan dibiarkan sampai ratusan baru ditertibkan," katanya.
Joga menambahkan, dalam konteks pembenahan Tanag Abang pemerintah bisa melakukan penanganan dalam jangka pendek seperti menata ulang sirkulasi dan lainnya. Sementara jangka panjang mau tidak mau harus ada revitalisasi secara keseluruhan.
Seperti mengintegrasikan pasar dengan stasiun kereta api dan kemudahan akses menuju halte-halte bus transjakarta. Dengan konsep seperti ini akan memudahkan orang yang berjalan kaki sampai ke tempat tujuan atau transit ke moda transportasi lain tanpa harus mendapat stigma penyebab kemacetan.
"Juga jangan lupa PKL harus dimasukan kembali ke tempat asal. Penegakan aturan seperti itu menurut Saya harus dilakukan," jelasnya.
medcom.id, Jakarta: Pengamat Tata Kota Nirwono Joga mengatakan tudingan bahwa penyebab lalu lintas semrawut dan kemacetan adalah pejalan kaki merupakan pemikiran yang salah. Pejalan kaki justru pemilik kasta tertinggi dalam konsep transportasi.
Menurut Joga, dalam konsep transportasi kota, hal paling utama adalah trotoar sebagai tempat nyaman bagi pejalan kaki untuk berlalu lintas. Baru kemudian didukung aktivitas angkutan massal.
"Kendaraan pribadi baik motor atau mobil justru ada pada kasta paling rendah. Pemahaman ini yang sering terbolak-balik," ujar Joga, dalam
Metro Pagi Primetime, Jumat 10 November 2017.
Joga mengatakan selama ini orang mengutamakan kemudahan dalam berkegiatan menggunakan kendaraan. Motor dan mobil sering kali ditempatkan paling tinggi di atas pejalan kaki. Pemahaman yang salah inilah yang menyebabkan mengapa pejalan kaki sulit mendapatkan haknya ketika menggunakan trotoar.
Baca juga: Pejalan Kaki tidak Mungkin Jadi Penyebab Kemacetan
Padahal, kata Dia, DKI sebelum berganti pemimpin sempat menerapkan kebijakan bulan tertib trotoar untuk mengembalikan hak pejalan kaki atas trotoar yang ada di ibu kota. Joga menyayangkan mengapa kebijakan ini tidak diteruskan oleh pemimpin yang baru.
"Bicara Tanah Abang kan bagian dari program bulan tertib trotoar tadi. Jadi ada kebijakan yang terputus padahal seharusnya dioptimalkan terus," katanya.
Di sisi lain, Joga mengatakan bahwa budaya masyarakat untuk berjalan kaki dan beralih ke transportasi massal sudah mulai tumbuh. Artinya membangun budaya baru seharusnya didukung dengan integrasi transportasi dan kemudahan pejalan kaki untuk menjangkaunya.
Secara teknis, kata Dia, bentuk trotoar sudah standar dan cukup ramah bagi pejalan kaki maupun penyandang disabilitas.Yang jadi persoalan, trotoar sebagus apapun jika tidak sesuai peruntukannya maka selama itu juga tidak akan berfungsi maksimal.
Baca juga: Sandi Sebut Pejalan Kaki Sebabkan Tanah Abang Semrawut
"Di sinilah kelemahan Kita, penegakan hukum harus konsisten oleh semua pihak. Misalnya begitu motor naik trotoar mau enggak kepolisian langsung tilang untuk memberikan efek jera. Atau kalau ada PKL Satpol PP langsung turun, jangan dibiarkan sampai ratusan baru ditertibkan," katanya.
Joga menambahkan, dalam konteks pembenahan Tanag Abang pemerintah bisa melakukan penanganan dalam jangka pendek seperti menata ulang sirkulasi dan lainnya. Sementara jangka panjang mau tidak mau harus ada revitalisasi secara keseluruhan.
Seperti mengintegrasikan pasar dengan stasiun kereta api dan kemudahan akses menuju halte-halte bus transjakarta. Dengan konsep seperti ini akan memudahkan orang yang berjalan kaki sampai ke tempat tujuan atau transit ke moda transportasi lain tanpa harus mendapat stigma penyebab kemacetan.
"Juga jangan lupa PKL harus dimasukan kembali ke tempat asal. Penegakan aturan seperti itu menurut Saya harus dilakukan," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)