Jakarta: Dua hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berbeda terhadap Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mendapat sorotan. Audit 25 Agustus 2017 yang dipakai Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam membongkar kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berbeda dengan audit pada 2006.
Anggota Komisi XI DPR Haerul Saleh heran dengan dua hasil audit yang berbeda. Audit pada 2006 menyebut tidak ada kerugian negara, tetapi audit 2017 menyatakan ada unsur kerugian negara.
"Ada apa, kok lembaga yang sama bisa menghasilkan dua audit yang berbeda hasilnya. Bagaimana publik mau percaya kalau BPK adalah lembaga yang kredibel,” Haerul, Rabu, 30 Mei 2018.
Menurut dia, ada permasalahan serius mengenai hasil audit yang berbeda ini. Kredibilitas lembaga negara yang mempunyai pertanggungjawaban publik akan dipertaruhkan.
Haerul mengaku akan mempertanyakan masalah ini dalam rapat dengan BPK. Dia ingin mengetahui dasar bagi BPK melakukan audit investigatif.
Salah satu pertimbangnya, audit pada 2018 dilakukan tanpa adanya terperiksa yang menjadi obyek audit. “Kalau bahan-bahan yang digunakan sekunder bukan data primer, maka patut dipertanyakan hasil auditnya,” tegas Haerul.
Senada, pakar hukum Margarito Kamis juga menyoroti proses dan hasil audit BPK. Dalam pandangannya, audit tersebut terkesan hanya menghitung selisih angka penjualan untuk menentukan adanya unsur kerugian negara.
Menurut dia, yang terpenting dalam audit investigatif adalah soal bahan atau material yang digunakan dalam melakukan audit. Semua hal harus diperiksa, dari mulai dokumen, surat-surat, laporan-laporan.
"Itu yang mesti di cek. Jangan cuma menghitung selisih, itu bukan kesimpulan namanya," jelas Margarito.
Dia menilai perlu dilihat kembali apakah audit sesuai dengan prinsip-prinsip ketaatan dalam mengikuti regulasi. Ini diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Aturan itu menyatakan laporan audit harus menggunakan data-data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa atau auditee. Kalau data yang digunakan tidak valid, hasilnya juga tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan seseorang menjadi tersangka.
“Kalau datanya tidak valid maka hasilnya pun tidak valid, kesimpulanya juga tidak valid,” tutur Margarito.
Baca: Jaksa Tegaskan Kasus BLBI Masuk Ranah Pidana
Dia menilai hasil dari audit yang tidak valid tidak bisa digunakan untuk memperkuat dakwaan terhadap mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Sementara itu, audit BPK terhadap BPPN yang laporannya muncul pada 2017 adalah audit investigatif atas permintaan penyidik KPK.
“Maka penyidik harus menyiapkan semua data-data baik, primer maupun sekunder, yang merupakan bahan menyeluruh. Bukan semata-mata hanya menghitung selisih angka, kemudian menentukan adanya kerugian negara,” jelas Margarito.
Sebelumnya, Syafruddin didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Sjamsul Nursalim, meskipun belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Jakarta: Dua hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berbeda terhadap Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mendapat sorotan. Audit 25 Agustus 2017 yang dipakai Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam membongkar kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berbeda dengan audit pada 2006.
Anggota Komisi XI DPR Haerul Saleh heran dengan dua hasil audit yang berbeda. Audit pada 2006 menyebut tidak ada kerugian negara, tetapi audit 2017 menyatakan ada unsur kerugian negara.
"Ada apa, kok lembaga yang sama bisa menghasilkan dua audit yang berbeda hasilnya. Bagaimana publik mau percaya kalau BPK adalah lembaga yang kredibel,” Haerul, Rabu, 30 Mei 2018.
Menurut dia, ada permasalahan serius mengenai hasil audit yang berbeda ini. Kredibilitas lembaga negara yang mempunyai pertanggungjawaban publik akan dipertaruhkan.
Haerul mengaku akan mempertanyakan masalah ini dalam rapat dengan BPK. Dia ingin mengetahui dasar bagi BPK melakukan audit investigatif.
Salah satu pertimbangnya, audit pada 2018 dilakukan tanpa adanya terperiksa yang menjadi obyek audit. “Kalau bahan-bahan yang digunakan sekunder bukan data primer, maka patut dipertanyakan hasil auditnya,” tegas Haerul.
Senada, pakar hukum Margarito Kamis juga menyoroti proses dan hasil audit BPK. Dalam pandangannya, audit tersebut terkesan hanya menghitung selisih angka penjualan untuk menentukan adanya unsur kerugian negara.
Menurut dia, yang terpenting dalam audit investigatif adalah soal bahan atau material yang digunakan dalam melakukan audit. Semua hal harus diperiksa, dari mulai dokumen, surat-surat, laporan-laporan.
"Itu yang mesti di cek. Jangan cuma menghitung selisih, itu bukan kesimpulan namanya," jelas Margarito.
Dia menilai perlu dilihat kembali apakah audit sesuai dengan prinsip-prinsip ketaatan dalam mengikuti regulasi. Ini diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Aturan itu menyatakan laporan audit harus menggunakan data-data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa atau auditee. Kalau data yang digunakan tidak valid, hasilnya juga tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan seseorang menjadi tersangka.
“Kalau datanya tidak valid maka hasilnya pun tidak valid, kesimpulanya juga tidak valid,” tutur Margarito.
Baca: Jaksa Tegaskan Kasus BLBI Masuk Ranah Pidana
Dia menilai hasil dari audit yang tidak valid tidak bisa digunakan untuk memperkuat dakwaan terhadap mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Sementara itu, audit BPK terhadap BPPN yang laporannya muncul pada 2017 adalah audit investigatif atas permintaan penyidik KPK.
“Maka penyidik harus menyiapkan semua data-data baik, primer maupun sekunder, yang merupakan bahan menyeluruh. Bukan semata-mata hanya menghitung selisih angka, kemudian menentukan adanya kerugian negara,” jelas Margarito.
Sebelumnya, Syafruddin didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai Kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Sjamsul Nursalim, meskipun belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)