medcom.id, Jakarta: Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ibnu Hamad sudah melihat gelagat gugatan praperadilan Setya Novanto bakal dikabulkan. Gerak-gerik itu dia lihat dari rangkaian sidang yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar.
Untuk membuktikannya, Hamad mengusulkan ada analisis forensik komunikasi. "Agar masyarakat menyadari tanda-tanda bebasnya ketua DPR itu sudah ada sebelum ketuk palu," kata Ibnu di acara Diskusi 'Golkar Pasca Putusan Pra Peradilan' di Gado-Gado Boplo, Jalan Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 30 September 2017.
Analisis forensik komunikasi bisa dilakukan sejak hakim Cepi mengawali persidangan hingga akhirnya memutuskan. Dengan demikian dapat diketahui kecenderungan hakim Cepi selama persidangan.
Namun, kata Ibnu, jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) peka sejak awal, KPK bisa meresponnya lebih cepat. "Sehingga indikasi dibebaskannya (Novanto) sudah ada. Tapi, kenapa KPK tidak segera merespon," ucap Ibnu.
Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari. Foto: Metrotvnews.com/Intan Fauzi
Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, semestinya hakim tak boleh memberikan kesan memihak selama proses persidangan. Hakim sudah dianggap melanggar kode etik jika melakukan hal tersebut.
"Misalnya, hakim bersikap lebih ramah terhadap pemohon. Sebaliknya, hakim cenderung sinis (terhadap termohon). Itu sudah masuk pelanggaran kode etik," kata Aidul di kesempatan sama.
Baca: Dalih Hakim Mengabulkan Praperadilan Novanto Membingungkan
Cepi mengabulkan permohonan praperadilan Novanto atas status tersangka dalam perkara korupsi KTP elektronik (KTP-el) oleh KPK. Keputusan dibacakan Jumat sore 29 September 2017.
Novanto mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Senin 4 September 2017. Novanto disebut sebagai salah satu otak di balik proyek senilai Rp5,9 triliun itu. Dia bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong diduga berperan dalam melobi para koleganya di Parlemen.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum terhadap Andi Narogong, Novanto disebut sebagai kunci anggaran di DPR. Dia juga tak segan-segan menyampaikan dukungannya terhadap proyek kartu identitas berbasis nomor induk kependudukan (NIK) itu.
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1) atas Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perannya diduga merugikan negara Rp2,3 triliun.
medcom.id, Jakarta: Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ibnu Hamad sudah melihat gelagat gugatan praperadilan Setya Novanto bakal dikabulkan. Gerak-gerik itu dia lihat dari rangkaian sidang yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar.
Untuk membuktikannya, Hamad mengusulkan ada analisis forensik komunikasi. "Agar masyarakat menyadari tanda-tanda bebasnya ketua DPR itu sudah ada sebelum ketuk palu," kata Ibnu di acara Diskusi 'Golkar Pasca Putusan Pra Peradilan' di Gado-Gado Boplo, Jalan Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 30 September 2017.
Analisis forensik komunikasi bisa dilakukan sejak hakim Cepi mengawali persidangan hingga akhirnya memutuskan. Dengan demikian dapat diketahui kecenderungan hakim Cepi selama persidangan.
Namun, kata Ibnu, jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) peka sejak awal, KPK bisa meresponnya lebih cepat. "Sehingga indikasi dibebaskannya (Novanto) sudah ada. Tapi, kenapa KPK tidak segera merespon," ucap Ibnu.
Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari. Foto: Metrotvnews.com/Intan Fauzi
Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, semestinya hakim tak boleh memberikan kesan memihak selama proses persidangan. Hakim sudah dianggap melanggar kode etik jika melakukan hal tersebut.
"Misalnya, hakim bersikap lebih ramah terhadap pemohon. Sebaliknya, hakim cenderung sinis (terhadap termohon). Itu sudah masuk pelanggaran kode etik," kata Aidul di kesempatan sama.
Baca: Dalih Hakim Mengabulkan Praperadilan Novanto Membingungkan
Cepi mengabulkan permohonan praperadilan Novanto atas status tersangka dalam perkara korupsi KTP elektronik (KTP-el) oleh KPK. Keputusan dibacakan Jumat sore 29 September 2017.
Novanto mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Senin 4 September 2017. Novanto disebut sebagai salah satu otak di balik proyek senilai Rp5,9 triliun itu. Dia bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong diduga berperan dalam melobi para koleganya di Parlemen.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum terhadap Andi Narogong, Novanto disebut sebagai kunci anggaran di DPR. Dia juga tak segan-segan menyampaikan dukungannya terhadap proyek kartu identitas berbasis nomor induk kependudukan (NIK) itu.
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1) atas Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perannya diduga merugikan negara Rp2,3 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)