Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto. Foto: Antara/Puspa Perwitasari.
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto. Foto: Antara/Puspa Perwitasari.

Dalih Hakim Mengabulkan Praperadilan Novanto Membingungkan

Whisnu Mardiansyah • 30 September 2017 10:37
medcom.id, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan transisi berupa peraturan pemerintah (PP) yang mengatur hukum acara praperadilan. Hadirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dinilai belum mampu menutupi celah hukum yang ada.
 
"Ada problem jangka waktu dan hukum acara dalam praperadilan yang tak jelas antara perdata dan pidana," kata Direktur ICJR Supriyadi Eddyono dalam keterangan tertulis, Jumat 29 September 2017.
 
Hal ini kerap menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti, pada kasus dikabulkanya praperadilan Ketua DPR Setya Novanto. ICJR mendorong agar pemerintah segera memperhatikan keadaan ini dengan mengambil langkah-langkah cepat dan responsif.

"Salah satunya dengan cara menerbitkan aturan transisi berupa PP untuk mengatur hukum acara praperadilan yang lebih komprehensif," kata dia.
 
Menanggapi dikabulkanya gugatan praperadilan Novanto, ICJR menilai keputusan itu tak menggugurkan kewenangan KPK kembali menetapkan yang bersangkutan menjadi tersangka. Hal ini jelas diatur di Pasal 2 ayat (3) Perma Nomor 4/2016.
 
"Sepanjang KPK yakin dan memiliki dua alat bukti, maka Novanto masih bisa ditetapkan menjadi tersangka," kata dia.
 
Tidak relevan
 
Meski begitu, ICJR tak menerima alasan hakim yang menyatakan ada kesalahan prosedur yang dilakukan KPK saat menetapkan Novanto sebagai tersangka. Hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan penetapakn tersangka di awal penyidikan menyalahi prosedur.
 
"Secara ideal memang penyidikan dilakukan untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka," kata Supriyadi.
 
Merujuk Pasal 2 ayat (2) Perma, sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan aspek formil melalui paling sedikit dua alat bukti yang sah.
 
"Maka, praperadilan tidak lagi relevan menilai konteks apakah penetapan tersangka ditempatkan di awal atau di akhir penyidikan," ucapnya.
 
Baca: Tiga Gugatan Novanto yang Dimenangkan Hakim
 
Supriyadi mengatakan hakim seharusnya fokus menilai apakah perolehan alat bukti yang diajukan KPK untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka sah atau tidak.
 
Ia juga mengaku bingung dengan pernyataan hakim soal bukti yang dipakai tak boleh bukti yang digunakan dalam kasus lain. "Sebab, hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa," ujarnya.
 
Dalam kasus Korupsi yang sifatnya terorganisasi, maka terbuka peluang adanya penyertaan. "Menjadi mengherankan apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain."
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan