Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut menyelidiki kasus penembakan pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua. Komnas HAM bakal memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
"Kami mendetailkan bagaimana itu bisa terjadi, sehingga kasusnya semakin terang dan rekomendasi Komnas HAM konkret dan bisa dilaksanakan," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam dalam konferensi pers daring, Rabu, 21 Oktober 2020.
Anam memastikan Komnas HAM tidak hanya menjawab sosok pelaku yang melakukan penembakan. Dia menyebut butuh komitmen bersama mengungkap kasus penembakan terhadap pendeta Yeremia. Salah satunya, harus sesuai kaidah-kaidah hukum dan HAM.
Sebab, kasus penembakan terhadap masyarakat Papua bukan hal baru. Banyak kasus serupa yang belum menemukan titik terang hingga saat ini.
"Pada akhirnya masyarakat Papua bertanya, termasuk bertanya kepada kami, apakah kasus ini akan nasibnya sama dengan kasus-kasus sebelumnya? Apakah kasus ini memiliki masa depan yang lebih cerah dari kasus-kasus sebelumnya?" tutur Anam.
(Baca: Komnas HAM: Kematian Pendeta di Intan Jaya Rentetan Peristiwa)
Komnas HAM perlu mendetailkan laporan kasus. Pihaknya bakal menguji keterangan ahli dalam penyelidikan.
"Sehingga terang benderang kasusnya dan kami bisa memproduksi satu rekomendasi tepat, konkret, dan bisa dilaksanakan itu yang paling penting. Butuh waktu tapi, enggak akan lama," kata Anam.
Peristiwa penembakan terhadap pendeta Yeremia terjadi di distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua, Sabtu, 19 Agustus 2020 sekitar pukul 17.30 WIT. Yeremia tewas akibat timah panas.
Beberapa pendeta di Hitadipa juga diduga diancam dan diusir secara paksa sejak Jumat, 18 September 2020 dan Sabtu, 19 September 2020. Warga menduga pelakunya anggota TNI.
"Dalam melakukan pencarian atas pembunuhan rekannya, anggota TNI mengancam, mengusir warga secara paksa," ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Mulidiyanti melalui keterangan tertulis, Kamis, 24 September 2020.
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM) turut menyelidiki kasus penembakan pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua. Komnas HAM bakal memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
"Kami mendetailkan bagaimana itu bisa terjadi, sehingga kasusnya semakin terang dan rekomendasi Komnas HAM konkret dan bisa dilaksanakan," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam dalam konferensi pers daring, Rabu, 21 Oktober 2020.
Anam memastikan Komnas HAM tidak hanya menjawab sosok pelaku yang melakukan penembakan. Dia menyebut butuh komitmen bersama mengungkap kasus penembakan terhadap pendeta Yeremia. Salah satunya, harus sesuai kaidah-kaidah hukum dan HAM.
Sebab,
kasus penembakan terhadap masyarakat Papua bukan hal baru. Banyak kasus serupa yang belum menemukan titik terang hingga saat ini.
"Pada akhirnya masyarakat Papua bertanya, termasuk bertanya kepada kami, apakah kasus ini akan nasibnya sama dengan kasus-kasus sebelumnya? Apakah kasus ini memiliki masa depan yang lebih cerah dari kasus-kasus sebelumnya?" tutur Anam.
(Baca:
Komnas HAM: Kematian Pendeta di Intan Jaya Rentetan Peristiwa)
Komnas HAM perlu mendetailkan laporan kasus. Pihaknya bakal menguji keterangan ahli dalam penyelidikan.
"Sehingga terang benderang kasusnya dan kami bisa memproduksi satu rekomendasi tepat, konkret, dan bisa dilaksanakan itu yang paling penting. Butuh waktu tapi, enggak akan lama," kata Anam.
Peristiwa penembakan terhadap pendeta Yeremia terjadi di distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua, Sabtu, 19 Agustus 2020 sekitar pukul 17.30 WIT. Yeremia tewas akibat timah panas.
Beberapa pendeta di Hitadipa juga diduga diancam dan diusir secara paksa sejak Jumat, 18 September 2020 dan Sabtu, 19 September 2020. Warga menduga pelakunya anggota TNI.
"Dalam melakukan pencarian atas pembunuhan rekannya, anggota TNI mengancam, mengusir warga secara paksa," ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Mulidiyanti melalui keterangan tertulis, Kamis, 24 September 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)