Jakarta: Kasus asusila anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, membetot perhatian publik. Musababnya, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Sulteng) menyebut kasus ini bukan pemerkosaan namun pesetubuhan di bawah umur.
Lalu, apa bedanya pemerkosaan dengan pesetubuhan di bawah umur?
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menjelaskan, dari sisi istilah, dalam UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut.
Namun, apakah persetubuhan bisa disetarakan dengan perkosaan? Menurut Reza, persetubuhan dengan anak, dalam istilah asing adalah statutory rape. Istilah statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakannya dengan rape.
Pada rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau. Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan.
Tapi, hal tersebut tidak berlaku pada anak-anak. Kendati--anggaplah--anak berkehendak dan bersepakat, namun serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat.
"Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan. Jadi, jangan risau pada diksi yang polisi pakai. Polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak," jelas Reza dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 3 Juni 2023.
Menurut Reza, siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut, termasuk anggota Brimob sekalipun, niscaya diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
"Apa jenis kejahatan seksualnya? Jawabannya, persetubuhan dengan anak. Atau, statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban" lanjutnya.
Terkait nasib pelaku, lanjut Reza, seharusnya tidak berat bagi kepolisisan untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada para pelaku. Termasuk hukuman mati. Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius.
"Tinggal lagi kondisi korban. Dia berusia 15 tahun. Artinya, secara fisik, tubuhnya sudah mengenal sensasi seks. Juga, perkosaan berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya," jelasnya.
Diketahui, saat ini polisi telah berhasil melakukan penahanan terhadap 7 dari 10 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah HR (43) yang berstatus sebagai kepala desa di Parigi Moutong, ARH (40) seorang guru SD di Desa Sausu, AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS dan AK.
Tersangka lainnya berstatus sebagai petani, wiraswasta, mahasiswa, ada juga pengangguran dan semua tersangka saling kenal.
Sementara itu, MKS yang merupakan oknum anggota Polri masih dalam tahap pemeriksaan dan belum ditetapkan sebagai tersangka, karena diketahui belum cukup bukti.
Jakarta: Kasus asusila anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, membetot perhatian publik. Musababnya, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Sulteng) menyebut kasus ini bukan
pemerkosaan namun pesetubuhan di bawah umur.
Lalu, apa bedanya pemerkosaan dengan pesetubuhan di bawah umur?
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menjelaskan, dari sisi istilah, dalam
UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut.
Namun, apakah persetubuhan bisa disetarakan dengan perkosaan? Menurut Reza, persetubuhan dengan anak, dalam istilah asing adalah
statutory rape. Istilah
statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakannya dengan
rape.
Pada
rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau.
Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan.
Tapi, hal tersebut tidak berlaku pada anak-anak. Kendati--anggaplah--anak berkehendak dan bersepakat, namun serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat.
"Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan. Jadi, jangan risau pada diksi yang polisi pakai. Polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak," jelas Reza dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 3 Juni 2023.
Menurut Reza, siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut, termasuk anggota Brimob sekalipun, niscaya diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
"Apa jenis kejahatan seksualnya? Jawabannya, persetubuhan dengan anak. Atau,
statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban" lanjutnya.
Terkait nasib pelaku, lanjut Reza, seharusnya tidak berat bagi kepolisisan untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada para pelaku. Termasuk hukuman mati. Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian serius.
"Tinggal lagi kondisi korban. Dia berusia 15 tahun. Artinya, secara fisik, tubuhnya sudah mengenal sensasi seks. Juga, perkosaan berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya," jelasnya.
Diketahui, saat ini polisi telah berhasil melakukan penahanan terhadap 7 dari 10 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah HR (43) yang berstatus sebagai kepala desa di Parigi Moutong, ARH (40) seorang guru SD di Desa Sausu, AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS dan AK.
Tersangka lainnya berstatus sebagai petani, wiraswasta, mahasiswa, ada juga pengangguran dan semua tersangka saling kenal.
Sementara itu, MKS yang merupakan oknum anggota Polri masih dalam tahap pemeriksaan dan belum ditetapkan sebagai tersangka, karena diketahui belum cukup bukti.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id(WAN)