Jakarta: Aset perusahaan yang terlibat dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) mahasiswa magang ke Jerman. Aset tersebut nantinya bisa digunakan untuk jaminan pengembalian kerugian atau restitusi para korban.
Ada beberapa perusahaan yang terlibat dalam kasus tersebut. Berdasarkan keterangan Polri, perusahaan yang terlibat yaitu PT SHB dan CVGEN.
"Sebagai jaminan pembayaran restitusi bagi korban," kata Wakil Ketua LPSK Antonius PS. Wibowo melalui keterangan tertulis, Sabtu, 6 April 2024.
Antonius menyampaikan pengembalian kerugian merupakan salah satu hak korban TPPO. Hal itu merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penanggulangan TPPO.
Dia menyampaikan LPSK akan membantu korban memperjuangkan pengembalian kerugian korban. Kerugian yang dimaksud yaitu berupa utang korban kepada pihak universitas.
"(Utang) untuk keperluan tiket pesawat, cek kesehatan, visa, dan lainnya," ujar dia.
Kasus TPPO ini merupakan modus baru yang berhasil diungkap Dittipidum Bareskrim Polri. Penyidikan dilakukan berdasarkan laporan dari KBRI Jerman setelah menerima aduan dari empat mahasiswa yang menjadi korban.
Dari keterangan KBRI Jerman, ada 33 universitas yang terlibat dalam program ini. Dengan mahasiswa yang tereksploitasi sebanyak 1.047 orang. Mereka bukan kerja magang melainkan menjadi kuli panggul di negara Eropa itu.
Sihol ditetapkan tersangka bersama empat orang lainnya. Namun, Sihol bersama dua lainnya AZ, 52 dan MZ, 60 tidak ditahan melainkan hanya dikenakan wajib lapor.
Sementara itu, dua tersangka ER alias EW, 39 dan A alias AE, 37 yang merupakan agen dari PT SHB dan CVGEN masuk daftar pencarian orang (DPO) karena tak memenuhi panggilan polisi dan masih berada di Jerman.
Sihol dan keempat tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman paling lama 15 tahun penjara dan denda Rp600 juta. Lalu Pasal 81 UU No 17 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar.
Jakarta: Aset perusahaan yang terlibat dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (
TPPO) mahasiswa magang ke
Jerman. Aset tersebut nantinya bisa digunakan untuk jaminan pengembalian kerugian atau restitusi para korban.
Ada beberapa perusahaan yang terlibat dalam kasus tersebut. Berdasarkan keterangan
Polri, perusahaan yang terlibat yaitu PT SHB dan CVGEN.
"Sebagai jaminan pembayaran restitusi bagi korban," kata Wakil Ketua LPSK Antonius PS. Wibowo melalui keterangan tertulis, Sabtu, 6 April 2024.
Antonius menyampaikan pengembalian kerugian merupakan salah satu hak korban TPPO. Hal itu merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penanggulangan TPPO.
Dia menyampaikan
LPSK akan membantu korban memperjuangkan pengembalian kerugian korban. Kerugian yang dimaksud yaitu berupa utang korban kepada pihak universitas.
"(Utang) untuk keperluan tiket pesawat, cek kesehatan, visa, dan lainnya," ujar dia.
Kasus TPPO ini merupakan modus baru yang berhasil diungkap Dittipidum Bareskrim Polri. Penyidikan dilakukan berdasarkan laporan dari KBRI Jerman setelah menerima aduan dari empat mahasiswa yang menjadi korban.
Dari keterangan KBRI Jerman, ada 33 universitas yang terlibat dalam program ini. Dengan mahasiswa yang tereksploitasi sebanyak 1.047 orang. Mereka bukan kerja magang melainkan menjadi kuli panggul di negara Eropa itu.
Sihol ditetapkan tersangka bersama empat orang lainnya. Namun, Sihol bersama dua lainnya AZ, 52 dan MZ, 60 tidak ditahan melainkan hanya dikenakan wajib lapor.
Sementara itu, dua tersangka ER alias EW, 39 dan A alias AE, 37 yang merupakan agen dari PT SHB dan CVGEN masuk daftar pencarian orang (DPO) karena tak memenuhi panggilan polisi dan masih berada di Jerman.
Sihol dan keempat tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman paling lama 15 tahun penjara dan denda Rp600 juta. Lalu Pasal 81 UU No 17 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)