Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) kecewa dengan pengaktifan kembali AKBP Raden Brotoseno usai menjadi narapidana. Brotoseno terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktik korupsi dan dikenakan hukuman penjara lima tahun.
"Kembalinya yang bersangkutan sebagai anggota Kepolisian aktif menjelaskan semangat anti korupsi yang sangat buruk di institusi Polri," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhan dalam keterangan tertulis, Selasa, 31 Mei 2022.
Kurnia mengatakan Polri seharusnya memedomani Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dalam aturan itu jelas bahwa anggota Polri diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian.
"Jika dikaitkan dengan permasalahan Brotoseno, maka satu syarat telah terpenuhi, yakni putusan lima tahun penjara terhadap yang bersangkutan. Sedangkan, satu syarat lainnya atau yang kerap disebut sebagai sidang kode etik mestinya langsung memberhentikan Brotoseno karena ia melakukan kejahatan dalam jabatan dan telah dibuktikan saat proses persidangan," ungkap Kurnia.
Namun, kata dia, sidang etik Brotoseno justru meloloskannya dari pemecatan dengan argumentasi yang sangat mengada-ada. Pengaktifan kembali Brotoseno di Polri mendasari putusan penyuap Brotoseno yang divonis bebas pada 2018.
"Hal ini janggal sebab terkesan kontradiksi dengan poin pertama hasil putusan etik Brotoseno yang menegaskan adanya perbuatan menerima suap dari tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi saat ia menjabat sebagai Kepala Unit V Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri," ujar Kurnia.
Baca: Brotoseno Kembali Aktif, Penegakan Aturan Polri Dinilai Lemah
Pertimbangan kedua Polri, ujar dia, hasil putusan etik menyatakan Brotoseno terbukti melakukan perbuatan korupsi. Namun, dipertahankan di institusi Polri lantaran dinilai baik selama menjalani masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
"Penting ditekankan, sudah menjadi pemahaman umum dan kewajiban bagi seorang terpidana untuk berkelakuan baik selama menjalani pemidanaan. Lagi pun, reward bagi terpidana yang berkelakuan baik bukan merupakan urusan Polri, melainkan pemerintah melalui rekomendasi dari lapas. Jadi, tidak tepat jika dicampuradukkan dengan proses pemeriksaan etik Brotoseno," tegas dia.
Ketiga, Brotoseno dinilai berprestasi selama menjalankan dinas di kepolisian. ICW menilai pertimbangan itu janggal. Sebab tidak mungkin seseorang yang menggunakan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum dianggap berprestasi.
"Bukankah perbuatan itu justru merendahkan institusi Polri sendiri? Mestinya hal-hal yang dipertimbangkan menyangkut substansi perbuatan kejahatannya, bukan malah berkaitan dengan masa lalu Brotoseno," ucap Kurnia.
Keempat, adanya surat pertimbangan dari atasan Brotoseno bahwa yang bersangkutan layak untuk dipertahankan sebagai anggota Polri. Dia mendesak Kepala Divisi Profesi dan Keamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo menyampaikan secara transparan sosok atasan Brotoseno.
"Selain itu, pihak yang memberikan rekomendasi terhadap Brotoseno itu mestinya juga ditindak atau setidaknya diperiksa, perihal motif dan tujuannya mempertahankan Brotoseno," kata Kurnia.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta melalui putusan Nomor 26 Tahun 2017 telah menghukum Brotoseno dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp300 juta karena terlibat korupsi cetak sawah pada 2012-2014. Brotoseno dinyatakan bebas bersyarat pada 15 Februari 2020.
Pidana denda Rp300 juta subsider tiga bulan juga telah dijalankan. Bebasnya Brotoseno berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Nomor PAS-1052.OK.01.04.06 Tahun 2019 tentang Pembebasan Bersyarat Narapidana. Brotoseno saat ini menjabat sebagai penyidik madya Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri.
Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) kecewa dengan pengaktifan kembali AKBP
Raden Brotoseno usai menjadi narapidana. Brotoseno terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktik
korupsi dan dikenakan hukuman penjara lima tahun.
"Kembalinya yang bersangkutan sebagai anggota Kepolisian aktif menjelaskan semangat anti korupsi yang sangat buruk di institusi
Polri," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhan dalam keterangan tertulis, Selasa, 31 Mei 2022.
Kurnia mengatakan Polri seharusnya memedomani Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dalam aturan itu jelas bahwa anggota Polri diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian.
"Jika dikaitkan dengan permasalahan Brotoseno, maka satu syarat telah terpenuhi, yakni putusan lima tahun penjara terhadap yang bersangkutan. Sedangkan, satu syarat lainnya atau yang kerap disebut sebagai sidang kode etik mestinya langsung memberhentikan Brotoseno karena ia melakukan kejahatan dalam jabatan dan telah dibuktikan saat proses persidangan," ungkap Kurnia.
Namun, kata dia, sidang etik Brotoseno justru meloloskannya dari pemecatan dengan argumentasi yang sangat mengada-ada. Pengaktifan kembali Brotoseno di Polri mendasari putusan penyuap Brotoseno yang divonis bebas pada 2018.
"Hal ini janggal sebab terkesan kontradiksi dengan poin pertama hasil putusan etik Brotoseno yang menegaskan adanya perbuatan menerima suap dari tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi saat ia menjabat sebagai Kepala Unit V Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri," ujar Kurnia.
Baca:
Brotoseno Kembali Aktif, Penegakan Aturan Polri Dinilai Lemah
Pertimbangan kedua Polri, ujar dia, hasil putusan etik menyatakan Brotoseno terbukti melakukan perbuatan korupsi. Namun, dipertahankan di institusi Polri lantaran dinilai baik selama menjalani masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
"Penting ditekankan, sudah menjadi pemahaman umum dan kewajiban bagi seorang terpidana untuk berkelakuan baik selama menjalani pemidanaan. Lagi pun, reward bagi terpidana yang berkelakuan baik bukan merupakan urusan Polri, melainkan pemerintah melalui rekomendasi dari lapas. Jadi, tidak tepat jika dicampuradukkan dengan proses pemeriksaan etik Brotoseno," tegas dia.
Ketiga, Brotoseno dinilai berprestasi selama menjalankan dinas di kepolisian. ICW menilai pertimbangan itu janggal. Sebab tidak mungkin seseorang yang menggunakan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum dianggap berprestasi.
"Bukankah perbuatan itu justru merendahkan institusi Polri sendiri? Mestinya hal-hal yang dipertimbangkan menyangkut substansi perbuatan kejahatannya, bukan malah berkaitan dengan masa lalu Brotoseno," ucap Kurnia.
Keempat, adanya surat pertimbangan dari atasan Brotoseno bahwa yang bersangkutan layak untuk dipertahankan sebagai anggota Polri. Dia mendesak Kepala Divisi Profesi dan Keamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo menyampaikan secara transparan sosok atasan Brotoseno.
"Selain itu, pihak yang memberikan rekomendasi terhadap Brotoseno itu mestinya juga ditindak atau setidaknya diperiksa, perihal motif dan tujuannya mempertahankan Brotoseno," kata Kurnia.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta melalui putusan Nomor 26 Tahun 2017 telah menghukum Brotoseno dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp300 juta karena terlibat korupsi cetak sawah pada 2012-2014. Brotoseno dinyatakan bebas bersyarat pada 15 Februari 2020.
Pidana denda Rp300 juta subsider tiga bulan juga telah dijalankan. Bebasnya Brotoseno berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Nomor PAS-1052.OK.01.04.06 Tahun 2019 tentang Pembebasan Bersyarat Narapidana. Brotoseno saat ini menjabat sebagai penyidik madya Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(AZF)