Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terus mengusut kasus investasi bodong atau ilegal. PPATK mengendus beragam modus pencucian uang yang dilakukan para affiliator investasi bodong.
"Modusnya adalah menggunakan voucher yang diterbitkan oleh perusahaan exchanger, transfer dana ke perusahaan penjual robot trading, hingga penyamaran dana yang berasal investasi ilegal melalui sponsorship," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 April 2022.
Modus transfer ke penjual robot trading, kata Ivan, bertujuan mengelabui seolah-olah dana tersebut digunakan untuk membeli robot trading. PPATK juga menduga pelaku investasi ilegal menggunakan aset kripto sebagai sarana pembayaran fee kepada affiliator.
Lalu, menghimpun dana dari investor dengan menggunakan modus seolah-olah investor turut serta dalam penyertaan modal usaha, menggunakan perusahaan penyelenggara transfer dana (Payment Gateway). Menurut dia, dugaan tersebut terendus saat PPATK memantau dan menganalisis transaksi keuangan yang terindikasi terlibat investasi bodong.
Baca: Dua Petinggi Investasi Bodong Fahrenheit Dilaporkan ke Bareskrim Polri
Dalam pemantauan itu diketahui juga pelaku diduga menggunakan rekening atas nama orang lain (nominee) untuk menampung dana. "Dengan nominal hingga triliunan rupiah," ucap dia.
Pelaku juga memberikan iming-iming berupa barang mewah untuk menarik minat calon investor. Seperti menggunakan perusahaan yang statusnya legal secara hukum (misuse of legal entity), dan menggunakan nominee atas nama saudara pelaku pada wallet exchanger.
"Guna menyamarkan pembelian aset kripto di perusahaan exchanger," ungkap Ivan.
Ivan mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak lagi tergiur dengan berbagai bentuk investasi bodong yang sempat marak digandrungi. Menurut dia, tak ada investasi yang secara instan bisa menghasilkan keuntungan berlimpah.
"Semua tentu harus melalui mekanisme yang jelas dan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keberhasilan pengelolaan investasinya," tutur Ivan.
Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (
PPATK) terus mengusut kasus
investasi bodong atau ilegal. PPATK mengendus beragam modus
pencucian uang yang dilakukan para affiliator investasi bodong.
"Modusnya adalah menggunakan
voucher yang diterbitkan oleh perusahaan
exchanger, transfer dana ke perusahaan penjual robot trading, hingga penyamaran dana yang berasal investasi ilegal melalui
sponsorship," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 April 2022.
Modus transfer ke penjual robot trading, kata Ivan, bertujuan mengelabui seolah-olah dana tersebut digunakan untuk membeli robot trading. PPATK juga menduga pelaku investasi ilegal menggunakan aset kripto sebagai sarana pembayaran
fee kepada affiliator.
Lalu, menghimpun dana dari investor dengan menggunakan modus seolah-olah investor turut serta dalam penyertaan modal usaha, menggunakan perusahaan penyelenggara transfer dana (
Payment Gateway). Menurut dia, dugaan tersebut terendus saat PPATK memantau dan menganalisis transaksi keuangan yang terindikasi terlibat investasi bodong.
Baca:
Dua Petinggi Investasi Bodong Fahrenheit Dilaporkan ke Bareskrim Polri
Dalam pemantauan itu diketahui juga pelaku diduga menggunakan rekening atas nama orang lain (
nominee) untuk menampung dana. "Dengan nominal hingga triliunan rupiah," ucap dia.
Pelaku juga memberikan iming-iming berupa barang mewah untuk menarik minat calon investor. Seperti menggunakan perusahaan yang statusnya legal secara hukum (
misuse of legal entity), dan menggunakan
nominee atas nama saudara pelaku pada
wallet exchanger.
"Guna menyamarkan pembelian aset kripto di perusahaan
exchanger," ungkap Ivan.
Ivan mengimbau seluruh masyarakat untuk tidak lagi tergiur dengan berbagai bentuk investasi bodong yang sempat marak digandrungi. Menurut dia, tak ada investasi yang secara instan bisa menghasilkan keuntungan berlimpah.
"Semua tentu harus melalui mekanisme yang jelas dan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keberhasilan pengelolaan investasinya," tutur Ivan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)