Ilustrasi. Foto: MI/Kristiadi.
Ilustrasi. Foto: MI/Kristiadi.

Minyak Goreng Sempat Langka di Indonesia karena 200 Perusahaan Setop Produksi

Candra Yuri Nuralam • 14 Desember 2022 08:30
Jakarta: Terdakwa sekaligus mantan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Indra Sari Wisnu Wardhana bersaksi dalam persidangan dugaan korupsi terkait izin ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) pada Selasa, 13 Desember 2022. Dia memberikan penjelaskan terkait penyebab kelangkaan minyak goreng di Indonesia beberapa waktu lalu.
 
Dalam kesaksiannya, Wisni menjelaskan ada 425 merek minyak goreng yang diproduksi oleh 256 perusahaan di Indonesia. Hampir setengahnya sempat menghentikan produksi, sehingga kelangkaan terjadi.
 
"Ada sekitar 200 (perusahaan) yang kecil-kecil ini tidak produksi dan ada satu yang besar juga tidak produksi, itulah yang menyebabkan kenapa kolamnya tidak terisi seperti biasanya," kata Wisnu saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikutip pada Rabu, 14 Desember 2022.

Wisnu mengatakan kolam kebutuhan masyarakat sulit dipenuhi jika 200 perusahan lebih itu tidak memproduksi minyak goreng. Pemerintah saat itu mengambil opsi memaksa perusahaan yang masih memproduksi untuk bekerja lebih keras.
 
"Jadi kalau yang tiga tidak jalan pompanya, otomatis untuk memenuhi itu lambat. Jadi, kita paksa yang tujuh untuk lebih keras lagi mengisi, itulah yang dibilang sukarela tadi, supaya mereka men-double pompanya, agar kolam tetap penuh," ujar Wisnu.
 
Pemacuan perusahaan yang masih memproduksi inilah yang sulit. Pasalnya, kata Wisnu, mereka memiliki keterbatasan alat untuk menopang produksi minyak goreng dari perusahaan lain.
 
"Untuk men-double itu tidak mudah. Karena mereka juga mempunyai keterbatasan di kapasitas produksinya," ucap Wisnu.
 

Baca: Kubu Lin Che Wei Bantah Usulkan Revisi Persetujuan Ekspor CPO


Selain itu, Wisnu juga menjelaskan pemerintah tidak bisa memaksa perusahaan yang tidak memproduksi minyak goreng untuk kembali menjalankan usahanya. Apalagi, lanjutnya, tidak ada saksi untuk mereka.
 
"Tidak ada, karena mereka tidak ekspor jadi tidak sanksi apapun yang mereka terima," kata Wisnu.
 
Menanggapi Wisnu, Kuasa Hukum terdakwa Master Parulian Tumagor, Juniver Girsang meyakini kebijakan harga eceran tertinggi (HET) menjadi penyebab lebih dari 200 perusahaan menghentikan produksinya sementara waktu. Karena, kata dia, biaya pembuatan tidak sebanding dengan harga jual.
 
"Mereka itu dipatok harga Rp14 ribu, sementara biaya produksinya itu sudah Rp19 ribu, oleh karenanya mereka yang selama ini tidak ekspor tentu tidak bisa melaksanakan produksi," ucap Juniver.
 
Keterangan Wisnu yang menjelaskan soal perusahaan kecil yang mendominasi penghentian produksi semakin menjelaskan adanya beban dari ketimpangan harga jual dan produksi dalam kebijakan HET. Di sisi lain, perusahaan besar yang memproduksi minyak goreng memang memasarkan produknya ke luar negeri.
 
"Nah, kalau begitu logika bisnis juga kalau mereka produksi dia rugi ya tentu mereka tidak produksi, karena tidak ada sanksi hukumnya kalau mereka tidak produksi," tutur Juniver.
 
Sebanyak lima orang ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus ini. Mereka yakni, eks Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Indra Sari Wisnu Wardhana; tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley Ma; dan General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.
 
Perbuatan melawan hukum mereka itu terkait pemufakatan atas terbitnya perizinan PE CPO oleh Kemendag. Mereka didakwa memperkaya diri, orang lain, dan korporasi. Yakni, Grup Wilmar, Grup Musim Mas, dan Grup Permata Hijau.
 
Perbuatan mereka disebut telah merugikan keuangan negara dan perekonomian negara total Rp18 triliun. Terdiri dari keuangan negara yang dirugikan Rp6.047.645.700.000 dan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925.
 
Indra, Lin Che Wei, Master, Stanley, dan Pierre didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan