Jakarta: Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya mengungkap kasus penimbunan obat terapi covid-19 yang melibatkan perawat. Pelaku menimbun berbagai jenis obat untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
"Contohnya Actemra, dia jual sampai Rp40 juta," kata Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juharsa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Agustus 2021.
Mukti mengatakan harga Rp40 juta untuk per kotak dengan isi 12 botol. Harga itu melambung dibanding harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Kementeriam Kesehatan. Berdasarkan HET, Actemra 80 mg per 4 ml Rp1.162.000.
Tak hanya itu, sindikat yang berjumlah 24 orang ini juga menimbun dan menjual jenis obat terapi covid-19 lainnya. Antara lain Avigan Favipiravir 200 mg per tablet dijual Rp200 ribu. Berdasarkan HET obat itu hanya Rp22.500.
Kemudian, Fluvir Oseltamivir 75 mg per tablet dijual Rp100 ribu yang sejatinya berdasarkan HET hanya Rp26 ribu. Azithromycin 500 mg per tablet dijual Rp13.500, sedangkan berdasarkan HET hanya Rp1.700. Ivermectin 12 mg per tablet dijual Rp75 ribu dari HET Rp7.500.
Mukti belum dapat memastikan keuntungan yang diraup sindikat itu. Namun, dia meyakini keuntungannya sangat banyak.
"Untungnya berapa puluh juta itu, banyak sekali. Harga yang dia jual saja sampai Rp40 juta," ujar Mukti.
Baca: Modus Perawat Timbun Obat Terapi Covid-19
Para sindikat itu menawarkan obat tersebut melalui daring. Namun, polisi masih menyelidiki jumlah obat yang terjual.
Mukti mengatakan sindikat itu beroperasi dalam sebulan terakhir. Mereka ditangkap pertengahan Juli 2021. Total barang bukti yang disita sebanyak 6.964 butir dan 27 botol vial obat terapi covid-19 berbagai merek.
Ke-24 pelaku itu, yakni BC, MS, AH, RS, LO, RH, TF, NN, SJ, MS, MH, RB, AH, SO, YN, HH, AA, UF, LP, DW, MI, MR, DS, dan MD. RS merupakan perawat.
Para pelaku dijerat Pasal 196 dan atau Pasal 198 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 62 Jo Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara.
Jakarta: Direktorat Reserse Narkoba
Polda Metro Jaya mengungkap kasus penimbunan
obat terapi
covid-19 yang melibatkan perawat. Pelaku menimbun berbagai jenis obat untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
"Contohnya Actemra, dia jual sampai Rp40 juta," kata Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juharsa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Agustus 2021.
Mukti mengatakan harga Rp40 juta untuk per kotak dengan isi 12 botol. Harga itu melambung dibanding harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Kementeriam Kesehatan. Berdasarkan HET, Actemra 80 mg per 4 ml Rp1.162.000.
Tak hanya itu, sindikat yang berjumlah 24 orang ini juga menimbun dan menjual jenis obat terapi covid-19 lainnya. Antara lain Avigan Favipiravir 200 mg per tablet dijual Rp200 ribu. Berdasarkan HET obat itu hanya Rp22.500.
Kemudian, Fluvir Oseltamivir 75 mg per tablet dijual Rp100 ribu yang sejatinya berdasarkan HET hanya Rp26 ribu. Azithromycin 500 mg per tablet dijual Rp13.500, sedangkan berdasarkan HET hanya Rp1.700. Ivermectin 12 mg per tablet dijual Rp75 ribu dari HET Rp7.500.
Mukti belum dapat memastikan keuntungan yang diraup sindikat itu. Namun, dia meyakini keuntungannya sangat banyak.
"Untungnya berapa puluh juta itu, banyak sekali. Harga yang dia jual saja sampai Rp40 juta," ujar Mukti.
Baca: Modus Perawat Timbun Obat Terapi Covid-19
Para sindikat itu menawarkan obat tersebut melalui daring. Namun, polisi masih menyelidiki jumlah obat yang terjual.
Mukti mengatakan sindikat itu beroperasi dalam sebulan terakhir. Mereka ditangkap pertengahan Juli 2021. Total barang bukti yang disita sebanyak 6.964 butir dan 27 botol vial obat terapi covid-19 berbagai merek.
Ke-24 pelaku itu, yakni BC, MS, AH, RS, LO, RH, TF, NN, SJ, MS, MH, RB, AH, SO, YN, HH, AA, UF, LP, DW, MI, MR, DS, dan MD. RS merupakan perawat.
Para pelaku dijerat Pasal 196 dan atau Pasal 198 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 62 Jo Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)