Jakarta: Kuasa Hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail menilai, putusan buat kliennya tidak adil. Ada sejumlah hal yang membuat kubu Novanto merasakan hal itu.
Maqdir menuturkan, hakim tak adil saat menilai kerugian negara akibat proyek pengadaan KTP-el sejumlah Rp2,3 triliun. Sebab, hitungan itu hanya berdasar pada penghitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Yang sama sekali tidak disinggung gimana mereka menghitung kerugian negara karena nggak ada pembading selain pada keterangan ahli BPKP," kata Maqdir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Maqdir mencontohkan, seharusnya hakim membandingkan kontrak antara Konsorsium PNRI dengan Trisakti Mustika Graphika. Nilai kontrak per KTP Rp12 ribu. Sedangkan, nilai kontrak antara pemerintah dalam hal ini Kemendagri dengan PNRI per KTP Rp16 ribu. (Konsorsium PNRI, pengerja proyek KTP-el, menyerahkan pencetakan blangko KTP-el ke pihak lain)
"Kalau kita bandingkan oleh hasil penghitungan BPKP, bahwa nilai KTP per keping Rp5.000. Ini tidak fair membandingkannya. Penghitungan tidak apple to apple ketika mereka hitung," tandas dia.
(Baca juga: KPK Mengapresiasi Vonis Setya Novanto)
Dia menambahkan, Novanto juga dijatuhi hukuman yang tidak dia lakukan. Salah satunya, pembebanan hukuman lantaran pekerjaan proyek KTP-el tidak selesai.
"Ini kita cermati betul cara-cara menjatuhi hukum atas perbuatan orang lain. Ini akan menjadi semacam preseden buruk di dalam penegakan hukum ke depan," tandas dia.
Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Novanto dinilai secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Novanto dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Novanto juga diharuskan membayar uang pengganti US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan subsider dua tahun kurungan. Serta hak politik Novanto dicabut lima tahun setelah dia menjalani masa hukumannya.
(Baca juga: Vonis Novanto Bukan Akhir Kasus KTP-el)
Jakarta: Kuasa Hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail menilai, putusan buat kliennya tidak adil. Ada sejumlah hal yang membuat kubu Novanto merasakan hal itu.
Maqdir menuturkan, hakim tak adil saat menilai kerugian negara akibat proyek pengadaan KTP-el sejumlah Rp2,3 triliun. Sebab, hitungan itu hanya berdasar pada penghitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Yang sama sekali tidak disinggung gimana mereka menghitung kerugian negara karena nggak ada pembading selain pada keterangan ahli BPKP," kata Maqdir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa, 24 April 2018.
Maqdir mencontohkan, seharusnya hakim membandingkan kontrak antara Konsorsium PNRI dengan Trisakti Mustika Graphika. Nilai kontrak per KTP Rp12 ribu. Sedangkan, nilai kontrak antara pemerintah dalam hal ini Kemendagri dengan PNRI per KTP Rp16 ribu. (Konsorsium PNRI, pengerja proyek KTP-el, menyerahkan pencetakan blangko KTP-el ke pihak lain)
"Kalau kita bandingkan oleh hasil penghitungan BPKP, bahwa nilai KTP per keping Rp5.000. Ini tidak fair membandingkannya. Penghitungan tidak
apple to apple ketika mereka hitung," tandas dia.
(Baca juga:
KPK Mengapresiasi Vonis Setya Novanto)
Dia menambahkan, Novanto juga dijatuhi hukuman yang tidak dia lakukan. Salah satunya, pembebanan hukuman lantaran pekerjaan proyek KTP-el tidak selesai.
"Ini kita cermati betul cara-cara menjatuhi hukum atas perbuatan orang lain. Ini akan menjadi semacam preseden buruk di dalam penegakan hukum ke depan," tandas dia.
Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Novanto dinilai secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Novanto dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Novanto juga diharuskan membayar uang pengganti US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan subsider dua tahun kurungan. Serta hak politik Novanto dicabut lima tahun setelah dia menjalani masa hukumannya.
(Baca juga:
Vonis Novanto Bukan Akhir Kasus KTP-el)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)