Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan sejumlah surat telegram Kapolri Jenderal Idham Azis berpotensi melanggar sistem peradilan pidana. Surat dinilai mendorong semakin banyaknya penangkapan masyarakat yang kritis dan berpotensi melanggar hak atas kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi.
"Surat Telegram tersebut memang ditujukan untuk internal kepolisian, tetapi dampaknya justru akan berlaku bagi masyarakat luas," kata Ketua YLBHI Asfinawati di Jakarta, Rabu, 8 April 2020.
Dia menilai pasal-pasal dalam surat tidak disertai penjelasan memadai berdasarkan hukum dan putusan pengadilan. Sehingga berpotensi kuat disalahgunakan dalam penerapannya.
Asfinawati menemukan dua Surat Telegram Kapolri yang dinilai bermasalah. Pertama, Surat Telegram Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 tentang Penanganan Kejahatan Potensial Selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanggal 4 April 2020. YLBHI mencatat aturan menolak atau melawan petugas yang berwenang sebagaimana Pasal 212 KUHP sampai Pasal 218 KUHP berpotensi menjadi alat untuk penangkapan sewenang-wenang dalam perintah social distancing.
"Kami juga khawatir pengenaan pasal ini menjadi tindakan penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over-criminalization," ucap Asfinawati.
Kedua, Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tanggal 4 April 2020. Surat mengatur penegakan hukum terkait penyebaran hoaks covid-19 (korona) dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah covid-19. Ini sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
(Baca: Polisi Bubarkan 10 Ribu Kerumunan)
Asfinawati menjelaskan pasal tersebut masih menjadi kontroversi dalam pelaksanaannya. Hal serupa disampaikan ahli hukum pidana Andi Hamzah.
Andi menilai pasal ini bermasalah karena pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 di seluruh wilayah Indonesia dan Perubahan KUHP, tidak mengintegrasikan Pasal 14 dan Pasal 15 ke dalam KUHP. Pasal tersebut juga tidak ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958.
Hal ini bermula saat ada dua KUHP yang berlaku yakni KUHP 1 Maret 1942 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Pada 1958 dikeluarkan aturan yang berlaku adalah KUHP Tahun 1946. Tapi tidak disebut Pasal 14 dan Pasal 15 secara gamblang.
"Pasal ini juga pasal materiil, yakni mensyaratkan adanya keonaran di masyarakat baru delik pidana ini dapat dikenakan kepada pelaku," terang Asfinawati.
Dia meminta pemerintah mengedepankan pendekatan persuasif dan kemanusiaan di tengah situasi serba sulit akibat covid-19. Situasi krisis ini, justru membutuhkan suara kritis agar penguasa mengerti kenyataan yang terjadi di masyarakat dan dapat membuat kebijakan yang tepat bagi keselamatan rakyat.
"Tindakan represif sebagai pendisiplinan tidak akan berhasil tanpa pemberian insentif berupa pemenuhan kebutuhan rakyat dan penyadaran masyarakat," tegas Asfinawati.
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan sejumlah surat telegram Kapolri Jenderal Idham Azis berpotensi melanggar sistem peradilan pidana. Surat dinilai mendorong semakin banyaknya penangkapan masyarakat yang kritis dan berpotensi melanggar hak atas kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi.
"Surat Telegram tersebut memang ditujukan untuk internal kepolisian, tetapi dampaknya justru akan berlaku bagi masyarakat luas," kata Ketua YLBHI Asfinawati di Jakarta, Rabu, 8 April 2020.
Dia menilai pasal-pasal dalam surat tidak disertai penjelasan memadai berdasarkan hukum dan putusan pengadilan. Sehingga berpotensi kuat disalahgunakan dalam penerapannya.
Asfinawati menemukan dua Surat Telegram Kapolri yang dinilai bermasalah. Pertama, Surat Telegram Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 tentang Penanganan Kejahatan Potensial Selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanggal 4 April 2020. YLBHI mencatat aturan menolak atau melawan petugas yang berwenang sebagaimana Pasal 212 KUHP sampai Pasal 218 KUHP berpotensi menjadi alat untuk penangkapan sewenang-wenang dalam perintah social distancing.
"Kami juga khawatir pengenaan pasal ini menjadi tindakan penggunaan hukum pidana yang berlebihan atau over-criminalization," ucap Asfinawati.
Kedua, Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tanggal 4 April 2020. Surat mengatur penegakan hukum terkait penyebaran hoaks covid-19 (korona) dan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah covid-19. Ini sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
(Baca:
Polisi Bubarkan 10 Ribu Kerumunan)
Asfinawati menjelaskan pasal tersebut masih menjadi kontroversi dalam pelaksanaannya. Hal serupa disampaikan ahli hukum pidana Andi Hamzah.
Andi menilai pasal ini bermasalah karena pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 di seluruh wilayah Indonesia dan Perubahan KUHP, tidak mengintegrasikan Pasal 14 dan Pasal 15 ke dalam KUHP. Pasal tersebut juga tidak ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958.
Hal ini bermula saat ada dua KUHP yang berlaku yakni KUHP 1 Maret 1942 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Pada 1958 dikeluarkan aturan yang berlaku adalah KUHP Tahun 1946. Tapi tidak disebut Pasal 14 dan Pasal 15 secara gamblang.
"Pasal ini juga pasal materiil, yakni mensyaratkan adanya keonaran di masyarakat baru delik pidana ini dapat dikenakan kepada pelaku," terang Asfinawati.
Dia meminta pemerintah mengedepankan pendekatan persuasif dan kemanusiaan di tengah situasi serba sulit akibat covid-19. Situasi krisis ini, justru membutuhkan suara kritis agar penguasa mengerti kenyataan yang terjadi di masyarakat dan dapat membuat kebijakan yang tepat bagi keselamatan rakyat.
"Tindakan represif sebagai pendisiplinan tidak akan berhasil tanpa pemberian insentif berupa pemenuhan kebutuhan rakyat dan penyadaran masyarakat," tegas Asfinawati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(REN)