Ilustrasi hukum. Medcom.id
Ilustrasi hukum. Medcom.id

Psikolog Forensik Tak Setuju Herry Wirawan Dihukum Mati dan Dikebiri

Siti Yona Hukmana • 22 Desember 2021 11:29
Jakarta : Pakar psikolog forensik Reza Indragiri Amriel tak setuju terdakwa kasus pemerkosaan Herry Wirawan dihukum mati dan dikebiri. Keluarga 13 korban pemerkosaan meminta hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memberikan hukuman mati terhadap guru bidang keagamaan sekaligus pimpinan Yayasan KS tersebut.
 
"Adakah pasal tentang hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak? Maksimal 15 plus 5 tahun. Bisa dikenakan perlakuan-perlakuan tambahan, tapi tidak ada hukuman mati," kata Reza kepada Medcom.id, Rabu, 22 Desember 2021.
 
Reza mengatakan pemberian hukuman mati juga tidak memberikan efek jera. Menurut dia, efek jera muncul dari dua sifat penghukuman, yakni cepat dan ajek.

"Pastikan proses hukum dan ragam hukumannya memenuhi dua sifat itu. Insyaallah, efek jera bekerja," ujar Reza.
 
Masyarakat murka dan mendesak oknum guru bejat di Bandung tersebut dikebiri. Sebab, kebiri dianggap sebagai hukuman pedih, menyiksa, yang setimpal dengan kejahatan si predator.
 
Reza menilai pendapat itu salah kaprah. Menurut dia, kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan perlakuan atau penanganan therapeutic.
 
"Jadi bukan menyakitkan, kebiri justru pengobatan. Kalau masyarakat mau predator dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya hukuman mati saja. Tapi, perlu revisi dulu terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata psikolog anak itu.
 
Baca: Istri Herry Wirawan Diduga Ikut Menutupi Kasus Pemerkosaan Santriwati
 
Reza mengatakan kebiri therapeutic mujarab. Kebiri seperti itu, kata dia, bisa menekan risiko residivisme. Namun, Reza menilai kebiri yang manjur adalah berdasarkan permintaan pelaku sendiri, bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator.
 
"Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator mysoped. Pemangsa super buas, super ganas, itulah dia nantinya," ucap Reza.
 
Menurut Reza, permasalahan ini sebaiknya tak dilihat dari sisi pelaku dan korban saja. Melainkan juga alasan guru bidang keagamaan itu tidak meminta santri mengaborsi janin mereka.
 
Padahal, kata dia, lazimnya pelaku berusaha menghilangkan barang bukti. Kemudian, tak ada korban yang mengadu kepada orang tua selama lima tahun kejadian pemerkosaan tersebut.
 
"Alhasil, walau dari sisi hukum kita sebut peristiwa ini sebagai kejahatan seksual, tapi dari sisi psikologi dan sosiologi ada tanda tanya, tata nilai, dan pola relasi apa yang sesungguhnya terbangun antara pelaku, korban, dan keluarga mereka," tutur Reza.
 
Herry memperkosa 13 santriwati di beberapa tempat. Dalam persidangan terbongkar terdakwa memperkosa korban di gedung Yayasan KS, pesantren TM, pesantren MH, basecamp, Apartemen TS Bandung, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, dan Hotel R.
 
Peristiwa berlangsung selama lima tahun sejak 2016 sampai 2021. Korban diketahui ada yang mengandung, bahkan ada yang telah melahirkan.
 
Herry didakwa melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Serta Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
 
"Terdakwa diancam pidana sesuai Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak, ancamannya pidana 15 tahun. Namun, perlu digarisbawahi, ada pemberatan karena dia sebagai tenaga pendidik sehingga hukumannya menjadi 20 tahun," kata Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejati Jawa Barat, Riyono, Selasa, 21 Desember 2021.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan