Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir hari ini, 1 Desember 2022. Dia terlibat dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait perpanjangan hak guna usaha (HGU) di wilayahnya.
"Dilakukan penahanan oleh tim penyidik dengan waktu 20 hari pertama, terhitung 1 Desember 2022 sampai dengan 20 Desember 2022," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Desember 2022.
Syahrir ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya dan General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso. Syahrir bakal mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK cabang Kavling C1.
Kasus ini bermula ketika Frank meminta Sudarso untuk mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang akan berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
"Dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka dan MS (M Syahrir) menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA (Adimulia Agrolestari)," ucap Ghufron.
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank langsung menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi mahar yang diminta Syahrir.
Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit suap berlangsung.
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu,
"Menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar dan rekomendasi ini dapat dipenuhi FW (Frank Wijaya)," ujar Ghufron.
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara M Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) menahan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (
BPN) Riau M Syahrir hari ini, 1 Desember 2022. Dia terlibat dalam kasus dugaan suap dan
gratifikasi terkait perpanjangan hak guna usaha (HGU) di wilayahnya.
"Dilakukan penahanan oleh tim penyidik dengan waktu 20 hari pertama, terhitung 1 Desember 2022 sampai dengan 20 Desember 2022," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 1 Desember 2022.
Syahrir ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya dan General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso. Syahrir bakal mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK cabang Kavling C1.
Kasus ini bermula ketika Frank meminta Sudarso untuk mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang akan berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
"Dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka dan MS (M Syahrir) menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA (Adimulia Agrolestari)," ucap Ghufron.
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank langsung menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi mahar yang diminta Syahrir.
Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit suap berlangsung.
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu,
"Menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar dan rekomendasi ini dapat dipenuhi FW (Frank Wijaya)," ujar Ghufron.
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara M Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)