Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap pidana hukuman mati di Indonesia dapat dihapuskan. Hal itu merespon vonis mati terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J) yakni Ferdy Sambo.
Menanggapi itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana membeberkan bahwa pelaksanaan vonis mati belum bisa dilaksanakan lantaran harus menunggu proses hak-hak hukum narapidana.
"Dimana hak-hak hukum narapidana harus sudah selesai diajukan, seperti upaya hukum luar biasa, grasi, amnesti, hingga abolisi. Sehingga pelaksanaannya tidak mudah dan memakan waktu panjang," tegas Ketut kepada MGN, Rabu, 1 Maret 2023.
Ketut mengatakan, pihak Kejagung juga harus mendapatkan masukan dari pelbagai organisasi internasional dan nasional sebagai bahan pertimbangannya. Kendati demikian, Kejagung akan mengakomodir dan menjadikan masukan Komnas HAM bahan pertimbangan.
Meski begitu, tetap pihaknya akan mendahulukan hukum yang sudah ditentukan. "Namun selain sisi kemanusiaan, sisi kepastian hukum juga perlu diperhatikan,” ungkap Ketut.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengemukakan dukungan terhadap masa tunggu 10 tahun bagi terpidana mati. Ia menilai hal itu memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengubah perilaku.
"Artinya di dalam KUHP yang baru ini ada kesempatan untuk melihat apakah terpidana yang dijatuhi pidana mati itu ada perubahan perilaku atau tidak, juga memberikan kesempatan untuk mematuhi peraturan-peraturan di lembaga pemasyarakatan agar bisa menjadi warga masyarakat yang baik," ujar Zaenur.
Ia juga menuturkan bahwa waktu 10 tahun untuk melakukan upaya hukum seperti peninjauan kembali (PK). Hal itu dilakukan apabila pada rentang waktu tersebut ditemukan novum atau bukti baru.
"Jadi masa 10 tahun untuk melakukan koreksi misalnya melakukan bisa mengajukan peninjauan kembali jika ada novum gitu ya. Sehingga meminimalisir terjadinya penjatuhan pelaksanaan eksekusi pidana mati di dalam perkara yang peradilannya itu sesat gitu ya," ungkapnya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebut, Komnas HAM mencatat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, dan berharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan.
Atnike mengatakan meskipun hak hidup termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights), namun hukum Indonesia masih menerapkan pidana hukuman mati.
Kendati demikian, ia menjelaskan, Komnas HAM tetap menghormati proses dan putusan hukum yang diambil hakim, dan memandang tidak seorangpun yang berada di atas hukum.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM) berharap pidana hukuman mati di Indonesia dapat dihapuskan. Hal itu merespon
vonis mati terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J) yakni Ferdy Sambo.
Menanggapi itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)
Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana membeberkan bahwa pelaksanaan vonis mati belum bisa dilaksanakan lantaran harus menunggu proses hak-hak hukum narapidana.
"Dimana hak-hak hukum narapidana harus sudah selesai diajukan, seperti upaya hukum luar biasa, grasi, amnesti, hingga abolisi. Sehingga pelaksanaannya tidak mudah dan memakan waktu panjang," tegas Ketut kepada
MGN, Rabu, 1 Maret 2023.
Ketut mengatakan, pihak Kejagung juga harus mendapatkan masukan dari pelbagai organisasi internasional dan nasional sebagai bahan pertimbangannya. Kendati demikian, Kejagung akan mengakomodir dan menjadikan masukan Komnas HAM bahan pertimbangan.
Meski begitu, tetap pihaknya akan mendahulukan hukum yang sudah ditentukan. "Namun selain sisi kemanusiaan, sisi kepastian hukum juga perlu diperhatikan,” ungkap Ketut.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengemukakan dukungan terhadap masa tunggu 10 tahun bagi terpidana mati. Ia menilai hal itu memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengubah perilaku.
"Artinya di dalam KUHP yang baru ini ada kesempatan untuk melihat apakah terpidana yang dijatuhi pidana mati itu ada perubahan perilaku atau tidak, juga memberikan kesempatan untuk mematuhi peraturan-peraturan di lembaga pemasyarakatan agar bisa menjadi warga masyarakat yang baik," ujar Zaenur.
Ia juga menuturkan bahwa waktu 10 tahun untuk melakukan upaya hukum seperti peninjauan kembali (PK). Hal itu dilakukan apabila pada rentang waktu tersebut ditemukan novum atau bukti baru.
"Jadi masa 10 tahun untuk melakukan koreksi misalnya melakukan bisa mengajukan peninjauan kembali jika ada novum gitu ya. Sehingga meminimalisir terjadinya penjatuhan pelaksanaan eksekusi pidana mati di dalam perkara yang peradilannya itu sesat gitu ya," ungkapnya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebut, Komnas HAM mencatat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru,
hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, dan berharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan.
Atnike mengatakan meskipun hak hidup termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (
nonderogable rights), namun hukum Indonesia masih menerapkan pidana hukuman mati.
Kendati demikian, ia menjelaskan, Komnas HAM tetap menghormati proses dan putusan hukum yang diambil hakim, dan memandang tidak seorangpun yang berada di atas hukum.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)