Jakarta: Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menyinggung mudahnya orang kaya terhindar dari pidana jika melanggar ketentuan pembayaran pajak. Sebab, ada regulasi yang memungkinkan penghentian penyidikan jika pelanggar telah membayar denda.
Awalnya, Fahzal menanyakan mengenai ketentuan Pasal 44B Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada ahli perpajakan Richard Burton. Ia memberikan keterangan untuk kasus suap pajak pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
"Pasal 44B UU KUP. Apabila wajib pajak melakukan tindak pidana, dia dapat dihentikan penyidikannya apabila mau membayar pokok pajak sebesar sanksi sebesar kalau saat ini di UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) itu 300 persen," ujar Richard saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 19 Juli 2022.
Fahzal mempertegas apakah perkara tersebut bisa terus diusut bila pelanggar sudah memenuhi denda tiga kali lipat dari kewajiban pajak tersebut. Richard mengatakan penyidikan tetap bisa dihentikan.
Ia mengatakan UU KUP itu dibentuk untuk pemasukan negara. Tidak dalam kapasitas memidanakan.
"Memang filosofi pemungutan pajak itu sedari awal tidak dimaksudkan untuk memidanakan wajib pajak," ucap Richard.
Namun, kata Richard, UU KUP juga mengatur irisan dengan tindak pidana korupsi, yakni pada Pasal 43A. Dengan catatan, DJP memiliki bukti permulaan yang cukup mengarah pada rasuah maka bisa diproses penegak hukum melalui Undang-Undang Tipikor.
"Intinya, kepada wajib pajak dapat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, jadi Ditjen Pajak diberikan kewenangan berdasarkan data informasi dan pengaduan, dilakukan pemeriksaan bukti permulaan," jelas Richard.
Hakim Fahzal menyoroti mudahnya pelanggar pajak yang mampu memenuhi sanksi. Karena pelanggar akan terpikir untuk membayar saja sanksi bayar pajak 300 persen.
"Apa tak terpikir bagi pembuat UU, bagi yang punya banyak (uang), orang kaya raya melakukan tindak pidana pajak. Kalau begitu caranya, bisa nanti dibayar saja kalau ketahuan, ini 300 persen, selesai kan," ucap Fahzal.
Hal itu juga dinilai tidak memberikan efek jera. Selain itu, dikhawatirkan terjadi perbuatan yang terulang.
"Kalau pemasukan ke negara mungkin, apakah pemikiran (uang) masuk ke negara saja tapi tidak bikin efek jera," kata Fahzal.
Pada perkara ini mantan pegawai Foresight Consulting selaku konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations (GMP) Aulia Imran Maghribi dan Ryan Ahmad Ronas didakwa menyuap pegawai DJP sejumlah Rp15 miliar. Uang suap itu dimaksud untuk merekayasa hasil penghitungan pajak PT GMP pada 2016.
Uang suap itu juga mengalir untuk eks pejabat DJP Dadan Ramdani, Wawan Ridwan, dan Alfred Simanjuntak. Duit suap itu juga dinikmati oleh tim pemeriksa pajak Yulmanizar, dan Febrian dengan jumlah berbeda.
Aulia dan Ryan didakwa melanggar dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Jakarta: Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri menyinggung mudahnya orang kaya terhindar dari pidana jika melanggar ketentuan pembayaran
pajak. Sebab, ada regulasi yang memungkinkan penghentian penyidikan jika pelanggar telah membayar denda.
Awalnya, Fahzal menanyakan mengenai ketentuan Pasal 44B Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada ahli perpajakan Richard Burton. Ia memberikan keterangan untuk kasus suap pajak pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
"Pasal 44B UU KUP. Apabila wajib pajak melakukan tindak pidana, dia dapat dihentikan penyidikannya apabila mau membayar pokok pajak sebesar sanksi sebesar kalau saat ini di UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) itu 300 persen," ujar Richard saat persidangan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 19 Juli 2022.
Fahzal mempertegas apakah perkara tersebut bisa terus diusut bila pelanggar sudah memenuhi denda tiga kali lipat dari kewajiban pajak tersebut. Richard mengatakan penyidikan tetap bisa dihentikan.
Ia mengatakan UU KUP itu dibentuk untuk pemasukan negara. Tidak dalam kapasitas memidanakan.
"Memang filosofi pemungutan pajak itu sedari awal tidak dimaksudkan untuk memidanakan wajib pajak," ucap Richard.
Namun, kata Richard, UU KUP juga mengatur irisan dengan tindak pidana korupsi, yakni pada Pasal 43A. Dengan catatan, DJP memiliki bukti permulaan yang cukup mengarah pada rasuah maka bisa diproses penegak hukum melalui Undang-Undang Tipikor.
"Intinya, kepada wajib pajak dapat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, jadi Ditjen Pajak diberikan kewenangan berdasarkan data informasi dan pengaduan, dilakukan pemeriksaan bukti permulaan," jelas Richard.
Hakim Fahzal menyoroti mudahnya
pelanggar pajak yang mampu memenuhi sanksi. Karena pelanggar akan terpikir untuk membayar saja sanksi bayar pajak 300 persen.
"Apa tak terpikir bagi pembuat UU, bagi yang punya banyak (uang), orang kaya raya melakukan tindak pidana pajak. Kalau begitu caranya, bisa nanti dibayar saja kalau ketahuan, ini 300 persen, selesai kan," ucap Fahzal.
Hal itu juga dinilai tidak memberikan efek jera. Selain itu, dikhawatirkan terjadi perbuatan yang terulang.