Jakarta: Semua terpidana dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA dapat menolak PK tersebut bila tidak ada novum baru.
Hal ini disampaikan pakar hukum pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, merespons PK yang diajukan terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Mardani H Maming.
“PK itu harus ada novum (bukti baru) jika dalilnya lemah memang PK harus tidak diterima oleh MA. Apalagi dalam pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi sudah kalah (tiga nol) artinya majelis hakim sebelumnya pasti sudah mendalami judex facti dan judex yuris yang mendukung putusannya,” tegas Hudi, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Hudi mengingatkan keputusan majelis hakim untuk menolak peninjauan kembali Mardani H Maming tidak dapat diintervensi siapa pun. Dia menegaskan para hakim harus mandiri dalam mengambil setiap keputusan.
“Hakim sebagai aparat penegak hukum yang digaji oleh negara seyogianya berpihak kepada negara bukan kepada perorangan, semua demi kepentingan negara, apalagi pelaku korupsi itu mantan aparatur negara seyogyanya hukuman lebih berat dari sekedar 12 tahun penjara,” ungkap Hudi.
Hudi menyoroti langkah eks Ketua DPD PDIP Kalsel itu yang kembali mengajukan PK ke MA. Hudi mengatakan terpidana kerap mengajukan PK hanya mencari peluang untuk membebaskan diri dengan mengajukan novum yang mengada-ngada.
“Sseyogianya semua bukti telah disampaikan saat sidang di tingkat pertama di sana pertempuran sesungguhnya untuk mendapatkan keadilan,” ujar Hudi.
Mardani mengajukan PK ke MA pada 6 Juni 2024, dengan nomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004.
Wakil Ketua MA Suharto diduga menjadi pihak yang membantu Mardani Maming agar PK yang diajukan dikabulkan demi meringankan hukuman. Namun, Suharto menepis adanya anggapan intetvensi dalam proses PK Mardani Maming. Dia menegaskan hakim merdeka, mandiri, dan terbebas dari segala intervensi yang ada.
“Lho Hakim itu merdeka dan mandiri," kata Suharto, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.
Jakarta: Semua terpidana dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) ke
Mahkamah Agung (MA). Namun, MA dapat menolak PK tersebut bila tidak ada novum baru.
Hal ini disampaikan pakar hukum pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, merespons PK yang diajukan terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP)
Mardani H Maming.
“PK itu harus ada novum (bukti baru) jika dalilnya lemah memang PK harus tidak diterima oleh MA. Apalagi dalam pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi sudah kalah (tiga nol) artinya majelis hakim sebelumnya pasti sudah mendalami judex facti dan judex yuris yang mendukung putusannya,” tegas Hudi, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Hudi mengingatkan keputusan majelis hakim untuk menolak peninjauan kembali Mardani H Maming tidak dapat diintervensi siapa pun. Dia menegaskan para hakim harus mandiri dalam mengambil setiap keputusan.
“Hakim sebagai aparat penegak hukum yang digaji oleh negara seyogianya berpihak kepada negara bukan kepada perorangan, semua demi kepentingan negara, apalagi pelaku korupsi itu mantan aparatur negara seyogyanya hukuman lebih berat dari sekedar 12 tahun penjara,” ungkap Hudi.
Hudi menyoroti langkah eks Ketua DPD PDIP Kalsel itu yang kembali mengajukan PK ke MA. Hudi mengatakan terpidana kerap mengajukan PK hanya mencari peluang untuk membebaskan diri dengan mengajukan novum yang mengada-ngada.
“Sseyogianya semua bukti telah disampaikan saat sidang di tingkat pertama di sana pertempuran sesungguhnya untuk mendapatkan keadilan,” ujar Hudi.
Mardani mengajukan PK ke MA pada 6 Juni 2024, dengan nomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004.
Wakil Ketua MA Suharto diduga menjadi pihak yang membantu Mardani Maming agar PK yang diajukan dikabulkan demi meringankan hukuman. Namun, Suharto menepis adanya anggapan intetvensi dalam proses PK Mardani Maming. Dia menegaskan hakim merdeka, mandiri, dan terbebas dari segala intervensi yang ada.
“Lho Hakim itu merdeka dan mandiri," kata Suharto, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)