Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Susahnya Upaya KPK Melarang Penerimaan Gratifikasi yang Kini Dinormalisasi

Candra Yuri Nuralam • 06 Agustus 2024 06:15
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamini masih banyak masyarakat, pejabat, dan pegawai negeri yang memberikan atau menerima gratifikasi. Pemberian yang dilarang itu bahkan kerap dinormalisasi karena merasa dibantu.
 
“Saya bilangnya gini, ‘dia sudah bantu saya’,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan kepada Medcom.id, Selasa, 6 Agustus 2024.
 
Normalisasi gratifikasi terjadi karena masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan memberikan hadiah jika dibantu orang lain. Sejatinya, penerimaan itu tidak salah jika tidak mengarah ke pejabat maupun pegawai negeri.

Pemberian ke pejabat atau penyelenggara negara bisa dinilai menjadi gratifikasi jika berkaitan dengan jabatannya. Itu, kata Pahala, kerap dilupakan banyak orang.
 
“Saya bilang ‘kamu ngasih dia terkait jabatannya dia’ gitu kan. Nah, yang kayak gitu-gitu saya juga merasa ini karena ribet, akhirnya semua orang enggak mau tahu, sudah, dijustifikasi saja dengan definisi sendiri-sendiri,” ujar Pahala.
 
Banyak masyarakat mengira pemberian gratifikasi tidak masalah karena bukan kategori suap dan merasa sudah dibantu. Pejabat pun sama, menerima gratifikasi karena dinilainya hanya pemberian belaka dan tidak memberikan timbal balik.
 
“(Banyak yang bilang) ‘saya kan enggak ngambil duit dari dia’, atau dia bilang lagi ‘dia kan ngasihnya sukarela, enggak ada urusan sama kerjaan’,” ucap Pahala.
 
Baca Juga: KPK Sebut Ada Kemiripan Atas Pemerasan dan Penerimaan Gratifikasi di Pemkot Semarang

Sejatinya, timbal balik dari pemberian gratifikasi tidak langsung dirasakan. Konflik kepentingan dalam pengerjaan tugas pejabat maupun pegawai negeri bisa sulit dihindari jika kebanyakan menerima gratifikasi.
 
Pemberian gratifikasi juga dinormalisasi jika pejabat atau pegawai negeri sudah mengerjakan tugasnya. Contohnya, kata Pahala, kerap ada hakim menghalalkan pemberian setelah vonis dibacakan dengan dalih tidak memengaruhi persidangan.
 
“Salah, dia memberi karena dia hakim, karena dia hakim, apalagi seminggu yang lalu ada perkara. Enggak ada perkara saja kalau hakim menerima dari lawyer dia patut bilang enggak, karena dia diberi dalam posisi sebagai hakim,” ujar Pahala.
 
Pejabat atau pegawai negeri seharusnya berani menolak gratifikasi dalam bentuk apapun jika berkaitan dengan jabatannya. Perihal pihak swasta yang memulai duluan tidak bisa dipersoalkan.
 
“Kalau bahasa saya sih gini, siapa saja yang dibayar dengan uang pajak negara, itu enggak usah ditanya definisinya, kayak pegawai kelurahan juga dia dapat gajinya juga dari negara,” kata Pahala.
 
“Jadi, di sederhanakan seperti itu, supaya jangan bilang ‘saya ini kan bertemu teman enggak ada urusan dengan’, lah iya karena teman anda melihat ada jabatan, setelah itu meminta tolong,” lanjutnya.

Malas Laporkan Gratifikasi

KPK mengamini banyak pejabat yang malas melaporkan gratifikasi. Sebab, alur penyerahan barangnya masih ribet saat ini.
 
Sejatinya, pelaporan gratifikasi bisa dilakukan menggunakan saluran daring. Tapi, penyerahan barangnya harus ke Gedung Merah Putih KPK di Jakarta dan harus memakan biaya kirim yang mahal.
 
“Nah itu satu lagi, saya setuju gini, (misalnya pejabat) di Maluku terima selendang Rp300 ribu, ngelapornya mah online, kita bilang itu selendang milik negara lah ngirimnya Rp800 ribu,” kata Pahala.
 
KPK mengamini alur itu menyusahkan. Tapi, barang yang dinilai gratifikasi tidak bisa dititipkan ke instansi lain, selain Lembaga Antirasuah di Jakarta.
 
Penolakan gratifikasi dari awal sudah cara terbaik untuk menghindari kerumitan pelaporan ini. Namun, jika tidak bisa ditolak, pejabat diingatkan melaporkan jika tidak mau diproses hukum.
 
“Seharusnya, supaya dia aman yang seperti itu ditolak, tolak saja, nah definisi melaporkan seharusnya keadaan yang membuat dia tidak bisa menolak, misalnya sudah ditaruh di tas, atau dikasih ke anak buah, begitu sampai rumah baru dilihat,” ucap Pahala.

Persepsi Gratifikasi

Pahala menjelaskan banyak pejabat maupun pegawai negeri yang salah mengartikan penerimaan gratifikasi. Sebagian bahkan mengira menerima pemberian boleh setelah pekerjaannya kelar karena tidak memengaruhi.
 
“Misalnya kamu ditanya, saya hakim, saya memutus perkara, selesai saya mutus, seminggu lagi itu orang datang ke sana ngasih hadiah, kan jadi perdebatan yang pendek. Kan sudah diputus, enggak ada hubungan lagi,” kata Pahala.
 
KPK menegaskan persepsi seperti itu salah. Pejabat harus bisa membedakan pemberian karena jabatannya atau acara di luar pekerjaan.
 
“Nah, ngelurusin itu yang sulit bahwa sekarang kita ini soal adat saja diatur, nikah sejuta, nujubulanin, turun tangga,” ucap Pahala.

Aturan Terlalu Keras

KPK menilai aturan tentang gratifikasi di Indonesia terlalu keras. Lembaga Antirasuah ternyata sedang menyusun pengubahan melalui peraturan komisi.
 
“Kita ngerasa sekarang ini aturannya terlalu keras dan enggak masuk di akal. Terlalu keras akibatnya orang menghindar jadinya,” terang Pahala.
 
Baca Juga: Periksa Bos Tambang, KPK Kaitkan dengan Dugaan Pencucian Uang Abdul Gani Kasuba

Menurut Pahala, sejumlah pejabat struktural KPK sudah mempelajari terjemahan gratifikasi di sejumlah negara. Lembaga Antirasuah juga mengkaji kemunculan konflik kepentingan dalam penerimaan gratifikasi yang dipahami penegak hukum di Hongkong, Australi, dan Amerika Serikat (AS).
 
“Dan pengalaman juga kita lihat lagi 2022 akhir gitu ke AS, walaupun untuk conflict of interest, tapi, kita lihat juga praktik gratifikasi kayak apa sih sebenarnya di sana,” ucap Pahala.
 
Kajian untuk pengubahan aturan itu nantinya akan membedakan penerimaan gratifikasi dalam jabatan dan kepentingan adat. Terbilang, tradisi di Indonesia banyak menyeret ke arah penerimaan gratifikasi jika mengacu pada hukum yang berlaku saat ini.
 
“(Misalnya) saya diminta menjadi pembicara di grup alumni, ngobrol, dikasih cendera mata, dikasih kaus, enggak usah dilaporkan, enggak ada urusan dengan deputi pencegahan, orang ngobrolinnya tentang tenis kok, tenis di usia 60 gimana sih bisa main,” terang Pahala.
 
“Ya kan enggak ada urusan dengan deputi pencegahan, kalau ngomongnya tentang korupsi itu patut diduga ada kaitannya dengan deputi pencegahan, gitu ya,” lanjutnya.
 
Peraturan yang dikaji itu juga nantinya akan mendefinisikan konflik kepentingan dari penerimaan gratifikasi. Penjelasan bakal dibuat mendetail biar pejabat atau pegawai negeri tidak berdalih tidak mengetahui lagi.
 
“Itu yang kita miss selama ini karena dianggap tidak boleh dan ujungnya ini. Dibilang pemberian dalam jabatan untuk melakukan atau tidak melakukan yang berpotensi conflict of interest. Tapi, enggak ada yang menerangkan conflict of interest itu apa ya,” tutur Pahala.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan