Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengabulkan permohonan justice collaborator Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito. Dia menjadi terdakwa penyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"Mengabulkan permohonan justice collaborator," ujar Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di Pengadilan Tipikor, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu malam, 21 April 2021.
Majelis menilai Suharjito memenuhi persyaratan sebagai justice collaborator sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 04 Tahun 2011 soal tata cara penetapan saksi pelaku yang bekerja sama. Suharjito termasuk salah satu pelaku tindak pidana yang sesuai ketentuan.
Menurut majelis hakim, kehendak memberikan hadiah atau suap datang dari dari saksi Staf Khusus Edhy sekaligus tersangka dalam perkara ini, Safri. Suap bukan berasal dari kemauan Suharjito.
Baca: Saksi Sebut Edhy Prabowo Tak Puas dengan Jatah Kuota Awal Ekspor Benur
"Hal tersebut sudah membuktikan bahwa terdakwa bukan sebagai pelaku utama," ujar hakim.
Selain itu, Suharjito selama persidangan sudah jujur dan mengakui segala perbuatannya. Lalu, keterangan Suharjito dibutuhkan dalam perkara izin ekspor benih bening lobster atau benur.
"Untuk membuka keterlibatan pihak lain dalam perkara tindak pidana korupsi terkait perizinan ekspor benih lobster," ucap hakim.
Suharjito divonis dua tahun penjara serta denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. Dia terbukti mengguyur Edhy dengan fulus Rp2,1 miliar. Uang tersebut diserahkan Suhartijo dalam dua mata uang berbeda, yakni US$103 ribu dan Rp706.055.440.
Fulus itu diberikan melalui sejumlah perantara, yakni Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri serta Andreau Pribadi Misanta. Selain itu, fulus diserahkan via sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy, Iis Rosita Dewi; dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pendiri PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Uang itu diserahkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan mempercepat proses rekomendasi persetujuan pemberian izin budidaya sebagai salah satu syarat ekspor benih lobster. Perbuatan itu bertentangan dengan kapasitas Edhy sebagai penyelenggara negara.
Suharjito terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Terdakwa menerima putusan itu, sedangkan jaksa masih pikir-pikir. Majelis hakim menyatakan putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap.
Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengabulkan permohonan
justice collaborator Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito. Dia menjadi terdakwa
penyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo.
"Mengabulkan permohonan
justice collaborator," ujar Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di Pengadilan Tipikor, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu malam, 21 April 2021.
Majelis menilai Suharjito memenuhi persyaratan sebagai
justice collaborator sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 04 Tahun 2011 soal tata cara penetapan saksi pelaku yang bekerja sama. Suharjito termasuk salah satu pelaku tindak pidana yang sesuai ketentuan.
Menurut majelis hakim, kehendak memberikan hadiah atau suap datang dari dari saksi Staf Khusus Edhy sekaligus tersangka dalam perkara ini, Safri. Suap bukan berasal dari kemauan Suharjito.
Baca:
Saksi Sebut Edhy Prabowo Tak Puas dengan Jatah Kuota Awal Ekspor Benur
"Hal tersebut sudah membuktikan bahwa terdakwa bukan sebagai pelaku utama," ujar hakim.
Selain itu, Suharjito selama persidangan sudah jujur dan mengakui segala perbuatannya. Lalu, keterangan Suharjito dibutuhkan dalam perkara izin ekspor benih bening lobster atau benur.
"Untuk membuka keterlibatan pihak lain dalam perkara tindak pidana korupsi terkait perizinan ekspor benih lobster," ucap hakim.
Suharjito divonis dua tahun penjara serta denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. Dia terbukti mengguyur Edhy dengan fulus Rp2,1 miliar. Uang tersebut diserahkan Suhartijo dalam dua mata uang berbeda, yakni US$103 ribu dan Rp706.055.440.
Fulus itu diberikan melalui sejumlah perantara, yakni Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri serta Andreau Pribadi Misanta. Selain itu, fulus diserahkan via sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy, Iis Rosita Dewi; dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sekaligus pendiri PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Uang itu diserahkan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan mempercepat proses rekomendasi persetujuan pemberian izin budidaya sebagai salah satu syarat ekspor benih lobster. Perbuatan itu bertentangan dengan kapasitas Edhy sebagai penyelenggara negara.
Suharjito terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Terdakwa menerima putusan itu, sedangkan jaksa masih pikir-pikir. Majelis hakim menyatakan putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)