Jakarta: Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara memastikan utang petambak udang sebesar Rp4,8 triliun kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) macet. Hal itu ditemukan setelah BPK menemukan tiga bukti.
Nyoman yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung mengatakan, bukti pertama yakni, pada saat BDNI diambil alih, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) meminta konsutan keuangan Ernst and Young untuk mengkaji aset BDNI per 3 April 1998.
"Dalam laporan Ernst and Young pada 19 Mei 1998, dinyatakan bahwa 99, 99 persen kredit dalam kategori agrikultur adalah macet," kata Nyoman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 6 Agustus 2018.
Bukti kedua, analisis BPPN saat mengkaji aset petambak, ditemukan jika sejak Februari 1998, pembayaran kredit dengan mata uang rupiah tidak lagi dibayarkan. Tidak hanya itu, pembayaran kredit menggunakan mata uang dollar juga tak lagi dibayarkan sejak Agustus 1998.
Baca: Istri Sjamsul Nursalim Sempat Menangisi Utang BLBI
Oleh karena itu, ketika dilakukan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam perjanjian Master of Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), piutang petani tambak seharusnya diakui sebagai kredit macet.
Berikutnya, bukti ketiga, yakni jasa akuntan Arthur Andersen melakukan kajian ihwal kredit petambak kepada BDNI pada Oktober 1999. Dari hasil kajian tersebut, diketahui jika presentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim mengenai piutang petambak hanya senilai Rp333 miliar.
"Dengan demikian, ada misrepresentasi, karena piutang sesungguhnya sebesar Rp 4,8 triliun. Jika menggunakan terminologi MSAA, itu disebut pelanggaran pernyataan dan jaminan atau yang disebut misrepresentasi," jelas Nyoman.
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nurslaim kepada petani tambak.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/yNLe6R9b" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara memastikan utang petambak udang sebesar Rp4,8 triliun kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) macet. Hal itu ditemukan setelah BPK menemukan tiga bukti.
Nyoman yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung mengatakan, bukti pertama yakni, pada saat BDNI diambil alih, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) meminta konsutan keuangan Ernst and Young untuk mengkaji aset BDNI per 3 April 1998.
"Dalam laporan Ernst and Young pada 19 Mei 1998, dinyatakan bahwa 99, 99 persen kredit dalam kategori agrikultur adalah macet," kata Nyoman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 6 Agustus 2018.
Bukti kedua, analisis BPPN saat mengkaji aset petambak, ditemukan jika sejak Februari 1998, pembayaran kredit dengan mata uang rupiah tidak lagi dibayarkan. Tidak hanya itu, pembayaran kredit menggunakan mata uang dollar juga tak lagi dibayarkan sejak Agustus 1998.
Baca: Istri Sjamsul Nursalim Sempat Menangisi Utang BLBI
Oleh karena itu, ketika dilakukan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam perjanjian Master of Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), piutang petani tambak seharusnya diakui sebagai kredit macet.
Berikutnya, bukti ketiga, yakni jasa akuntan Arthur Andersen melakukan kajian ihwal kredit petambak kepada BDNI pada Oktober 1999. Dari hasil kajian tersebut, diketahui jika presentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim mengenai piutang petambak hanya senilai Rp333 miliar.
"Dengan demikian, ada misrepresentasi, karena piutang sesungguhnya sebesar Rp 4,8 triliun. Jika menggunakan terminologi MSAA, itu disebut pelanggaran pernyataan dan jaminan atau yang disebut misrepresentasi," jelas Nyoman.
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nurslaim kepada petani tambak.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)