Ilustrasi sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G. Dok. Istimewa
Ilustrasi sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G. Dok. Istimewa

Ahli: Perhitungan BPKP Keliru dan Tidak Bisa Jadi Bukti Kerugian Kasus BTS 4G

Achmad Zulfikar Fazli • 17 Oktober 2023 12:24
Jakarta: Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Kejaksaan Agung menggunakan pendekatan total loss untuk menetapkan kerugian keuangan negara sebesar Rp8,03 triliun dalam kasus dugaan korupsi pengadaan BTS 4G. Pendekatan itu dinilai tidak tepat dan prematur.
 
Dalam penghitungan tersebut, BPKP tidak mempertimbangkan pekerjaan masih berlanjut dan ada pengembalian uang yang dilakukan konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
 
“Dalam perkara dugaan korupsi, perhitungan kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti. Apabila pekerjaan masih berjalan, belum nyata dan pasti perhitungannya,”  kata ahli hukum keuangan publik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G dengan terdakwa Anang Achmad Latif, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilansir pada Selasa, 17 Oktober 2023.
 
Dian menambahkan perhitungan kerugian keuangan negara juga harus berdasarkan nilai buku yang wajar, dengan memperhitungkan berapa aset yang berkurang atau keluar dan berapa yang masuk.

"Jadi, selain pengeluaran, perlu dilihat, apakah ada tercatat barang yang masuk, apakah ada pertambahan aset, apakah ada pengembalian aset ke kas negara. Pencatatan penting untuk membuktikan kerugian yang nyata dan pasti,” ujar dia.   
 
Hal senada disampaikan ahli audit keuangan negara, Irmansyah. Menurut dia, perhitungan kerugian keuangan negara harus mempertimbangkan kejadian-kejadian penting yang bersifat material dan berpengaruh dalam nilai buku atau laporan keuangan.
 
“Apabila perhitungan menggunakan cut-off date tertentu, misalnya Maret 2022, tetapi ada kejadian-kejadian yang material yang berpengaruh, maka penghitungan tidak boleh berhenti di tanggal cut-off. Apabila kemudian terjadi pengembalian, harus ada koreksi atau penyesuaian laporan sebagaimana wajara dilakukan dalam membuat laporan audit. Kecuali, jika memang ada terminasi kontrak,” papar Irmansyah.
 
Baca Juga: Dugaan Aliran Uang Kasus BTS ke Komisi I DPR Dinilai Bagian dari Modus Operandi

Irmansyah menjelaskan perhitungan total loss dapat digunakan apabila aset yang diperoleh tidak punya nilai manfaat. Apabila aset tersebut masih memiliki manfaat ekonomis di masa depan, perhitungan harus menggunakan pendekatan selisih harga.
 
“Perhitungan total loss dapat digunakan misalnya apabila kita butuh sepeda gunung, tetapi yang dibeli kemudian bukan sepeda gunung. Namun, apabila yang aset yang dibeli sudah sesuai, meski mungkin ada keterlambatan atau kesalahan prosedur, tetap harus dihitung karena barang-barang tersebut masih dicatat sebagain aset,” papar Irmansyah.
 
BPKP dan Kejaksaan menyebutkan kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus korupsi pengadaan BTS 4G sebesar Rp 8,03 triliun. Perhitungan ini mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 dari total 4.200 BTS yang harus dikerjakan.
 
Padahal dalam persidangan, sejumlah saksi, termasuk (Plt) Direktur Infrastruktur BAKTI, Danny Januar Ismawan, mengatakan proyek tidak berhenti dan tetap berjalan meski ada adendum perpanjangan waktu. Danny menyebut hingga Desember 2022, ada 2.952 lokasi yang on air dan 2.190 lokasi yang sudah Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan (BAPHP), di luar dari 677 menara yang dikategorikan kahar.
 
Sementara itu, Plt Direktur Keuangan BAKTI Kominfo Ahmad Juhari mengungkapkan pembangunan tahap I yang semula 4.200 menara BTS 4G, angka final pembelian yang dilakukan BAKTI hanya 4.112 titik dengan nilai total kontrak pembelian Rp10,8 triliun.
 
Nilai tersebut termasuk dengan pajak sebesar Rp1,3 triliun yang dipotong langsung. Kemudian, pada April 2022, ada pengembalian dari konsorsium sebesar Rp1,7 triliun yang masuk ke kas negara. Dengan demikian, pembayaran bersih kepada konsorsium pelaksana proyek berkisar Rp7,7-Rp7,8 triliun, lebih kecil dari perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP.
 
Kuasa hukum Anang Achmad Latif, Aldres Napitupulu, mengatakan berdasarkan keterangan ahli, terbukti penghitungan yang dilakukan BPKP tidak benar dan faktanya pekerjaan BTS 4G masih berlanjut serta dapat dimanfaatkan.
 
“Dalam perkara ini kan sudah ada uang yang dikembalikan. Jadi, nilai yang pasti dari uang negara itu hanya Rp7,7 triliun, tapi BPKP tetap menghitungnya sebesar Rp8 triliun,” ujar dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan