Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai amarah publik terkait kasus eks Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai hal yang wajar. ICW menilai reaksi masyarakat makin kencang lantaran pliedoi Juliari tak meminta maaf kepada publik.
"Pliedoi itu memicu amarah publik. Ternyata ada pejabat publik yang meminta bawahannya mengutip fee Rp10 ribu terhadap paket bansos Rp270 ribu. Kemudian, masyarakat juga dihadapkan dengan situasi kemerosotan ekonomi dan kesehatan. Protes masyarakat itu menjadi hal yang wajar," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi Crosscheck by Medcom.id bertajuk 'Ironi Pliedoi Juliari', Minggu, 15 Agustus 2021.
Menurut dia, ada dua hal utama yang menjadi perhatian publik dalam pliedoi itu. Pertama, soal permintaan maaf Juliari kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Baca: KPK Pastikan Usut Kucuran Suap Bansos ke Tim Audit BPK
ICW menilai permintaan maaf itu tak tepat karena sama sekali tak menyinggung tanggung jawabnya kepada masyarakat. Mereka menjadi korban karena nilai bansos dikurangi Rp10 ribu.
"Salah satu bukti konkretnya ialah masyarakat yang kemarin menuntut ganti kerugian pada Pak Juliari," ucap Kurnia.
Kedua, Juliari mengeklaim mengalami penderitaan dan meminta majelis hakim mengakhiri hal tersebut melalui vonis bebas. Publik merasa klaim itu tak sepadan dengan penderitaan yang dialami penerima bansos.
"Tentu ini menjadi diskursus di tengah publik. Siapa sebenarnya yang menderita apakah Pak Juliari atau masyarakat Indonesia yang lebih spesifik Jabodetabek yang menjadi target pemberian bansos selama pandemi," ucap Kurnia.
Di sisi lain, dia menilai tuntutan 11 tahun penjara kepada Juliari masih rendah. Kurnia mengatakan tuntutan lebih maksimal bisa dikenakan dengan mempertimbangkan perbuatan Juliari di tengah pandemi.
"Hukuman yang layak bagi kami sesuai pasal yang didakwakan ialah seumur hidup. Selain untuk efek jera, ini bisa sebagai sinyal bagi pihak-pihak lain untuk tidak menjadikan pandemi sebagai ladang meraup keuntungan," kata Kurnia.
Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai amarah publik terkait kasus eks Menteri Sosial
Juliari Batubara sebagai hal yang wajar. ICW menilai reaksi masyarakat makin kencang lantaran pliedoi Juliari tak meminta maaf kepada publik.
"Pliedoi itu memicu amarah publik. Ternyata ada pejabat publik yang meminta bawahannya mengutip
fee Rp10 ribu terhadap paket bansos Rp270 ribu. Kemudian, masyarakat juga dihadapkan dengan situasi kemerosotan ekonomi dan kesehatan. Protes masyarakat itu menjadi hal yang wajar," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi
Crosscheck by Medcom.id bertajuk 'Ironi Pliedoi Juliari', Minggu, 15 Agustus 2021.
Menurut dia, ada dua hal utama yang menjadi perhatian publik dalam pliedoi itu. Pertama, soal permintaan maaf Juliari kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Baca:
KPK Pastikan Usut Kucuran Suap Bansos ke Tim Audit BPK
ICW menilai permintaan maaf itu tak tepat karena sama sekali tak menyinggung tanggung jawabnya kepada masyarakat. Mereka menjadi korban karena nilai bansos dikurangi Rp10 ribu.
"Salah satu bukti konkretnya ialah masyarakat yang kemarin menuntut ganti kerugian pada Pak Juliari," ucap Kurnia.
Kedua, Juliari mengeklaim mengalami penderitaan dan meminta majelis hakim mengakhiri hal tersebut melalui vonis bebas. Publik merasa klaim itu tak sepadan dengan penderitaan yang dialami penerima bansos.
"Tentu ini menjadi diskursus di tengah publik. Siapa sebenarnya yang menderita apakah Pak Juliari atau masyarakat Indonesia yang lebih spesifik Jabodetabek yang menjadi target pemberian bansos selama pandemi," ucap Kurnia.
Di sisi lain, dia menilai tuntutan 11 tahun penjara kepada Juliari masih rendah. Kurnia mengatakan tuntutan lebih maksimal bisa dikenakan dengan mempertimbangkan perbuatan Juliari di tengah pandemi.
"Hukuman yang layak bagi kami sesuai pasal yang didakwakan ialah seumur hidup. Selain untuk efek jera, ini bisa sebagai sinyal bagi pihak-pihak lain untuk tidak menjadikan pandemi sebagai ladang meraup keuntungan," kata Kurnia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)