Ahli forensik dari Universitas Airlangga Ahmad Yudianto dan praktisi komunikasi dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati pada program acara Primetime News Metro TV
Ahli forensik dari Universitas Airlangga Ahmad Yudianto dan praktisi komunikasi dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati pada program acara Primetime News Metro TV

Dampak Opini Publik terhadap Hasil Scientific Crime Investigation

Rosa Anggreati • 10 Agustus 2022 12:22
Jakarta: Kasus kematian Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J membetot perhatian publik. Kekinian, telah dilakukan ekshumasi yang dilanjutkan dengan autopsi untuk menyibak tabir kematian Brigadir J.
 
Proses ekshumasi tersebut melibatkan Kedokteran Forensik Indonesia, para pakar forensik hingga pengacara. Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) telah memilih satu dokter dari TNI untuk bergabung dalam tim tersebut.
 
Apa itu ekshumasi? Ekshumasi merupakan penggalian kuburan, yaitu mengeluarkan kembali mayat yang telah dimakamkan.

Ahli forensik dari Universitas Airlangga Ahmad Yudianto menyebutkan ekshumasi dilakukan dengan tujuan membantu identifikasi, mengambil sampel, dan untuk menemukan sebab pasti kematian.
 
“Ekshumasi dilakukan atas permintaan penyidik, permintaan dari hakim, atau ada pengakuan terbaru dari pelaku misalnya jenazah dikuburkan di dalam rumah. Pelaksana ekshumasi adalah dokter forensik. Dokter forensik kemudian akan berkoordinasi dengan ahli-ahli lain yang terkait dengan kasus yang sedang ditangani,” kata Ahmad Yudianto pada program acara Primetime News Metro TV.
 
Setelah ekshumasi kemudian dilanjutkan dengan autopsi. Autopsi dilakukan untuk menemukan penyebab pasti kematian.
 
“Salah satu jenis autopsi adalah autopsi forensik, dilakukan atas permintaan dari penyidik,” katanya.
 
Perihal lamanya waktu yang diperlukan ahli forensik sebelum mengumumkan kesimpulan autopsi, disebutkan Yudianto, hal itu karena dipengaruhi oleh kondisi jenazah.
 
“Waktu yang diperlukan ahli forensik memberikan kesimpulan bergantung pada kondisi jenazah, apakah sudah membusuk, apakah memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya, kasus Brigadir J, seperti telah disampaikan oleh ketua tim pelaksana ekshumasi bahwa prosesnya memerlukan waktu dua hingga empat minggu. Bisa saja lebih dari itu karena analisis memerlukan kehati-hatian,” ucapnya.
 
Hasil autopsi bisa lebih dari satu bulan karena tim pemeriksa memerlukan informasi penunjang, dan memerlukan waktu untuk melakukan analisis.
 
“Pemeriksaan laboratorium bisa lebih dari empat minggu karena sampel telah mengalami proses pembusukan dan itu butuh ketelitian,” tutur Yudianto.
 
Di tengah proses ekshumasi dan autopsi terhadap Brigadir J, di media sosial berseliweran aneka ragam kabar dan informasi yang belum sepenuhnya sesuai fakta.
 
Lantas apakah opini publik tersebut akan memengaruhi hasil investigasi kejahatan secara ilmiah (scientific crime investigation)?
 
Praktisi komunikasi dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati memberikan jawaban bahwa saat ini media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas yang memungkinkan pengguna beraksi bebas, kadang sampai kebablasan.
 
“Bahkan ada istilah ‘matinya para ahli atau the death of experts,’ karena fenomena ini terjadi di seluruh dunia, yang mengakibatkan muncul kasus-kasus gaduh tapi salah tuduh,” ujar Devie Rahmawati.
 
Justifikasi kasus yang digiring opini publik tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah. Devie menyebutkan fenomena ini dikenal dengan istilah “cancel culture,” yaitu sebuah fenomena yang berupaya mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu yang sebenarnya belum tentu berbasis fakta dan data.
 
“Istilah ‘cancel culture’ akan berubah menjadi ‘cancer culture’ karena itu betul-betul mematikan. Orang yang sudah dituding jauh dari proses hukum yang ada, dia sudah ‘terpenjara, terhukum’ dan sebagainya baik dalam konteks sosial maupun ekonomi,” kata Devie.
 
Manusia pada dasarnya hanya ingin mendengar apa yang dia ingin dengar, hanya ingin melihat apa yang ingin dia lihat. Dan itu mendapatkan panggungnya di media sosial.
 
“Maka tidak heran kalau ada pakar yang menyebutkan hasilnya A, orang tidak akan percaya. Orang akan lebih memercayai hasil B meski yang mengatakan bukan ahli, karena orang tersebut telah meyakininya,” kata Devie.
 
Saat ini pemerintah sedang menggalakkan program literasi digital. Salah satu tujuannya adalah untuk membiasakan masyarakat menjadi lebih objektif. Dalam hal ini dibutuhkan sinergi antara media massa, akademisi, dan civil society.
 
“Masyarakat kita secara sosial disebut ‘lokomotif gerbong’ atau istilah patron raya. Lokomotif biasanya orang-orang yang memiliki kewibawaan dan didengar oleh publik. Mereka adalah orang-orang yang berkuasa, bukan hanya politik, tapi juga ketua kelompok di media sosial, influencer dengan banyak pengikut. Besar harapan para lokomotif bisa menjadi contoh dan teladan dalam konteks kesabaran. Biasanya pengikutnya akan mengekor,” katanya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)


BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan