Jakarta: Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost (RJ) Lino, mengaku pihaknya pernah meneken perjanjian dengan perusahaan yang akan menggarap Quay Container Crane (QCC) yakni HDHM. Perusahaan asal Tiongkok itu akan menggarap QCC di Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.
Awalnya jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi perihal waktu tanda tangan kontrak pengadaan QCC antara PT Pelindo II dan HDHM. RJ Lino mengeklaim perjanjian tidak backdated.
"Kontrak itu berlaku 30 April 2010, seremonial 30 Maret 2010, enggak ada yang di-backdated. Ini seremonial, negoisasi sampai setuju," ujar RJ Lino saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 5 November 2021.
RJ Lino mengaku saat seremonial pada 30 Maret 2010, kedua belah pihak menandatangani kontrak melalui dua lembar kertas. Padahal, tahapan proses penunjukkan HDHM oleh PT Pelindo II belum sepenuhnya selesai seperti terkait evaluasi teknis dan soal harga.
RJ Lino berkelit saat dikonfirmasi apakah proses waktu tanda tangan itu termasuk backdated. Dia bersikukuh bukan backdated tetapi bagian dari proses kerja sama.
Ketua Majelis Hakim Rosmina mengambil alih pertanyaan jaksa. Hakim Rosmina meminta RJ Lino menjelaskan isi lembar yang ditandatangani kedua belah pihak.
RJ Lino mengaku tidak tahu persis lembar itu. Namun, dari pihak PT Pelindo II ditandatangani oleh Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Noerlan.
Baca: RJ Lino Klaim Tiga Perusahaan Pengadaan QCC Bisa Beri Harga Kompetitif
"Saya sendiri enggak ngikutin dan saya enggak mengetahui proses seperti apa, yang saya hanya kasih pesan ke direktur teknik saat itu, ini kontrak seremonial dalam rangka publikasi," ujar Lino.
Hakim Rosmina heran RJ Lino memastikan tidak backdated. Padahal, tanda tangan sebelum proses penunjukan HDHM selesai.
"Lalu buat apa tanda-tangan, kalau kita belum sepakat bendanya apa, jenis nya apa, nanti kita dikibuli?" tanya Hakim Rosmina.
"Jadi itu sudah jelas itu merupakan seremonial kesepakatan bahwa kita akan proses (tahapan penunjukan) itu," ucap RJ Lino.
RJ Lino diminta menjelaskan soal pemahaman kontrak kerja sama. Apakah tanda tangan dulu baru diproses atau sebaliknya.
"Dari pengalaman saya hal-hal itu seperti biasa, karena kontrak ketika kedua belah sepakat," ucap RJ Lino.
Dalam surat dakwaan disebutkan proses penunjukkan HDHM oleh PT Pelindo II belum sepenuhnya selesai karena evaluasi teknis dan harga baru dilaksanakan pada 5 April 2010. Negosiasi harga dengan pihak HDHM baru dilaksanakan pada 7 April 2010 serta penetapan penunjukan langsung pekerjaan pengadaan tiga unit QCC baru dilaksanakan pada 27 April 2010.
RJ Lino didakwa merugikan keuangan negara mencapai US$1,997 juta. Kerugian itu terkait pengadaan tiga unit QCC pada 2009-2011.
RJ Lino didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) II, Richard Joost
(RJ) Lino, mengaku pihaknya pernah meneken perjanjian dengan perusahaan yang akan menggarap Quay Container Crane (QCC) yakni HDHM. Perusahaan asal Tiongkok itu akan menggarap QCC di Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.
Awalnya jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi perihal waktu tanda tangan kontrak pengadaan QCC antara PT Pelindo II dan HDHM. RJ Lino mengeklaim perjanjian tidak
backdated.
"Kontrak itu berlaku 30 April 2010, seremonial 30 Maret 2010, enggak ada yang di-
backdated. Ini seremonial, negoisasi sampai setuju," ujar RJ Lino saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 5 November 2021.
RJ Lino mengaku saat seremonial pada 30 Maret 2010, kedua belah pihak menandatangani kontrak melalui dua lembar kertas. Padahal, tahapan proses penunjukkan HDHM oleh PT Pelindo II belum sepenuhnya selesai seperti terkait evaluasi teknis dan soal harga.
RJ Lino berkelit saat dikonfirmasi apakah proses waktu tanda tangan itu termasuk
backdated. Dia bersikukuh bukan
backdated tetapi bagian dari proses kerja sama.
Ketua Majelis Hakim Rosmina mengambil alih pertanyaan jaksa. Hakim Rosmina meminta RJ Lino menjelaskan isi lembar yang ditandatangani kedua belah pihak.
RJ Lino mengaku tidak tahu persis lembar itu. Namun, dari pihak PT Pelindo II ditandatangani oleh Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Noerlan.
Baca:
RJ Lino Klaim Tiga Perusahaan Pengadaan QCC Bisa Beri Harga Kompetitif
"Saya sendiri enggak ngikutin dan saya enggak mengetahui proses seperti apa, yang saya hanya kasih pesan ke direktur teknik saat itu, ini kontrak seremonial dalam rangka publikasi," ujar Lino.
Hakim Rosmina heran RJ Lino memastikan tidak
backdated. Padahal, tanda tangan sebelum proses penunjukan HDHM selesai.
"Lalu buat apa tanda-tangan, kalau kita belum sepakat bendanya apa, jenis nya apa, nanti kita dikibuli?" tanya Hakim Rosmina.
"Jadi itu sudah jelas itu merupakan seremonial kesepakatan bahwa kita akan proses (tahapan penunjukan) itu," ucap RJ Lino.
RJ Lino diminta menjelaskan soal pemahaman kontrak kerja sama. Apakah tanda tangan dulu baru diproses atau sebaliknya.
"Dari pengalaman saya hal-hal itu seperti biasa, karena kontrak ketika kedua belah sepakat," ucap RJ Lino.
Dalam surat dakwaan disebutkan proses penunjukkan HDHM oleh PT Pelindo II belum sepenuhnya selesai karena evaluasi teknis dan harga baru dilaksanakan pada 5 April 2010. Negosiasi harga dengan pihak HDHM baru dilaksanakan pada 7 April 2010 serta penetapan penunjukan langsung pekerjaan pengadaan tiga unit QCC baru dilaksanakan pada 27 April 2010.
RJ Lino didakwa
merugikan keuangan negara mencapai US$1,997 juta. Kerugian itu terkait pengadaan tiga unit QCC pada 2009-2011.
RJ Lino didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)