Jakarta: Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK) akan mendalami lebih jauh pemufakatan jahat yang dilakukan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Lembaga Antikorupsi itu mencium Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi benih lobster.
"Tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan tindak pidana lain dalam hal ini TPPU, sepanjang berdasarkan fakta yang ada dapat disimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri kepada Medcom.id, Jumat, 29 Januari 2021.
KPK menemukan adanya dugaan pembelanjaan uang hasil korupsi ke beberapa barang dan properti. Teranyar, KPK menduga Edhy membeli sebidang tanah menggunakan uang haram.
Namun, KPK masih kekurangan bukti untuk menjerat Edhy dalam dugaan pencucian uang. Saat ini Lembaga Antikorupsi mendalami dugaan itu dari pemeriksaan saksi dan temuan penyidik di lapangan.
"Penenerapkan pasal TPPU dalam perkara ini setelah dari hasil pengumpulan bukti kemudian disimpulkan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup," tegas Ali.
Baca: Dokumen Terkait Korupsi Ekspor Benur Disita dari Rumah Stafsus Edhy
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK) akan mendalami lebih jauh
pemufakatan jahat yang dilakukan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Lembaga Antikorupsi itu mencium Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi benih lobster.
"Tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan tindak pidana lain dalam hal ini TPPU, sepanjang berdasarkan fakta yang ada dapat disimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara
KPK Ali Fikri kepada
Medcom.id, Jumat, 29 Januari 2021.
KPK menemukan adanya dugaan pembelanjaan uang hasil korupsi ke beberapa barang dan properti. Teranyar, KPK menduga Edhy membeli sebidang tanah menggunakan uang haram.
Namun, KPK masih kekurangan bukti untuk menjerat
Edhy dalam dugaan pencucian uang. Saat ini Lembaga Antikorupsi mendalami dugaan itu dari pemeriksaan saksi dan temuan penyidik di lapangan.
"Penenerapkan pasal TPPU dalam perkara ini setelah dari hasil pengumpulan bukti kemudian disimpulkan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup," tegas Ali.
Baca: Dokumen Terkait Korupsi Ekspor Benur Disita dari Rumah Stafsus Edhy
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ADN)