Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (dua kanan) tiba di Papua, Senin (17/4/2023). (ANTARA/HO-Pusat Penerangan TNI)
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (dua kanan) tiba di Papua, Senin (17/4/2023). (ANTARA/HO-Pusat Penerangan TNI)

Presiden Diminta Setop Operasi Siaga Tempur di Papua

Indriyani Astuti • 19 April 2023 09:34
Jakarta: Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mendesak pemerintah menghentikan Operasi Siaga Tempur di Papua. Mereka juga mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) melaksanakan dialog untuk memulihkan situasi di Papua agar kondusif.
 
"Pilihan operasi tempur adalah pilihan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan. Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka Koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan," ujar Aktivis dari Papua itu Kita Michael Hilman melalui keterangan pers, Rabu, 19 April 2023.
 
Dia menerangkan peristiwa gugurnya prajurit dalam operasi penyelamatan Pilot maskapai Susi Air yang disandera oleh Tentara Pembebasan Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) menyisakan duka bagi keluarga prajurit yang gugur dan keluarga besar TNI. Oleh karena itu, pihaknya berharap tidak ada lagi nyawa anak bangsa yang gugur akibat operasi militer di Papua.

"Kami memandang peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit kemarin harus menjadi pelajaran berharga bagi presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur.
Baca: Operasi Siaga Tempur Diterapkan di Daerah Rawan di Papua

Menurut Isnur, pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan berdampak langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Pihaknya mencatat beberapa kasus yang sempat mencuat ke publik, misalnya pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani, pada 2020; pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil Papua, pada 2020; penyiksaan terhadap tiga anak yang dituduh melakukan pencurian, pada 2022; dan lain-lain.
 
"Selama ini, praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua," ujar Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy.
 
Sementara itu, Peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengatakan evaluasi pendekatan keamanan militeristik perlu segera ditata ulang. Terutama gelar kekuatan pasukan TNI.
 
Selama ini, menurut dia, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang tidak proporsional seiring dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua.
Baca: 4 Prajurit TNI yang Hilang usai Diserang KKB Papua Masih Dicari

Berdasarkan estimasi Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik aupun non-organik diperkirakan mencapai kurang lebih 16.900 prajurit. Terdiri dari sekitar 13.900 prajurit TNI organik tiga matra (darat, laut dan udara) dan sekira 3.000 prajurit TNI non-organik.
 
"Pada konteks pasukan non-organik, jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya) yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur," terang Hussein.
 
Hussein menambahkan dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua tidak sejalan dengan Undang-Undang No.34/2004 tentang TNI. Ia menyebut bahwa Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI.
 
"Berdasarkan penelusuran Imparsial, pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal," tutur dia.
 
Pihaknya memandang evaluasi operasi keamanan militeristik di Papua harus dibarengi dengan upaya konkret penghentian spiral kekerasan di Papua melalui dialog damai.
Baca: KSAD Sebut Gugurnya Prajurit di Nduga Bukti Kebiadaban Separatis

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan pendekatan militeristik dan agenda dialog di Papua menjadi sorotan komunitas internasional yang muncul kembali dalam mekanisme Universal Periodic Review (UPR) yang dihadapi Indonesia di Dewan HAM PBB pada November 2022.
 
Dalam forum peninjauan berkala tentang situasi HAM di negara-negara anggota PBB tersebut, kata dia, pemerintah Indonesia mendapatkan beberapa rekomendasi setidak-tidaknya dari Kepulauan Marshall dan Slovenia untuk mengadakan dialog inklusif di Papua dan menyoroti pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di Papua.
 
"Munculnya rekomendasi-rekomendasi itu menegaskan penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM," tegas dia.
 
Ia mengatakan pemerintah justru menggunakan pendekatan militeristik. Hal itu ditandai dengan penolakan pemerintah Indonesia terhadap rekomendasi tersebut dalam sesi adopsi pada Maret 2023 serta munculnya wacana terkait pilihan Operasi Siaga Tempur.
 
"Pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh, Poso dan Ambon. Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, Poso, dan Ambon semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua," papar dia.
 
Koalisi mendesak empat hal yakni Presiden dan DPR RI menghentikan Operasi Siaga Tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua. Presiden dan DPR melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan keamanan, hukum, dan pembangunan di Papua.
 
Selanjutnya, Pemerintah dan TPNPB-OPM melakukan gencatan senjata dan penghentian permusuhan segera untuk mencegah jatuhnya korban lebih jauh, serta menjajaki jeda kemanusiaan agar memungkinkan penanganan situasi pengungsi dan tahanan politik, pemerintah dan TPNPB-OPM membuka ruang dialog yang setara dan bermartabat.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan