Jakarta: Jaksa Agung ST Burhanuddin diminta memperkuat pengawasan dan pengendalian kejaksaan di daerah. Hal ini untuk mencegah adanya lagi jaksa yang membandel.
“Yang tak kalah penting adalah pengawasan itu harus beorientasi pada peningkatan produktivitas kerja kejaksaan di daerah,” ujar pengamat hukum Masriadi Pasaribu dalam keterangan tertulis, Selasa, 26 Oktober 2021.
Masriadi menyoroti sikap Jaksa Agung mengungkapkan rasa kekecewaan atas adanya jaksa yang ditangkap karena diduga menyalahgunakan wewenang di Kejaksaan Negeri Jawa Timur. Oknum jaksa tersebut dinilai telah mencoreng wajah kejaksaan di tengah upaya membangun integritas Korps Adhyaksa.
Kekecewaan Jaksa Agung itu dinilai wajar. Jaksa Agung sudah banyak menindak jaksa nakal, antara lain dengan mencopot puluhan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), namun kasus serupa terus terulang.
“Terlebih, saat ini publik menangkap ada disparitas kinerja antara Kejagung dengan kejaksaan di daerah. Gebrakan Kejagung terbilang luar biasa, tapi oknum di daerah banyak dilaporkan jual beli perkara,” kata dia.
Menurut dia, keberanian Kejagung mengungkap kasus korupsi besar membangkitkan harapan masyarakat antikorupsi di daerah. Namun, harapan itu tak sepenuhnya berbanding lurus dengan kinerja kejaksaan di daerah. Sehingga, Kejagung seolah menjadi satu-satunya tumpuan masyarakat.
“Makanya banyak yang melapor oknum jaksa ke Kejagung, ke JAMWAS atau Satgas 53. Ini tak dapat dihindari,” terang dia.
Baca: Komjak Selidiki Alasan Kejaksaan Belum Eksekusi Terdakwa Wenhai Guan
Dia meminta Jaksa Agung memperbaiki pengawasan kejaksaan di daerah agar tidak ada lagi jaksa yang bermain. Sedangkan, sejumlah jaksa yang sudah dilaporkan harus segera diproses secara transparan dan akuntabel.
Jaksa Agung ST Burhanuddin (tengah). Foto: Bary Fathahilah/MI
Dia juga mengapresiasi langkah Jaksa Agung yang menargetkan Kejati dan Kejari agar menuntaskan dua perkara korupsi dalam setahun. Namun, dia menilai target itu terlalu kecil dan tidak akan efektif bila tidak disertai mekanisme evaluasi yang memadai.
“Sudah rahasia umum, praktik korupsi itu ada di mana-mana. Tinggal penegakannya saja yang dioptimalkan,” ungkapnya.
Akademisi Universitas Assyafiiyah itu memahami kejaksaan harus profesional dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, itu bukanh alasan untuk mengendapkan kasus korupsi apalagi mempermainkannya.
“Perlu target kinerja yang cukup disertai pengawasan ketat atas penanganan perkara,” ujar dia.
Jakarta:
Jaksa Agung ST Burhanuddin diminta memperkuat pengawasan dan pengendalian
kejaksaan di daerah. Hal ini untuk mencegah adanya lagi jaksa yang membandel.
“Yang tak kalah penting adalah pengawasan itu harus beorientasi pada peningkatan produktivitas kerja kejaksaan di daerah,” ujar pengamat hukum Masriadi Pasaribu dalam keterangan tertulis, Selasa, 26 Oktober 2021.
Masriadi menyoroti sikap Jaksa Agung mengungkapkan rasa kekecewaan atas adanya jaksa yang ditangkap karena diduga menyalahgunakan wewenang di Kejaksaan Negeri Jawa Timur. Oknum jaksa tersebut dinilai telah mencoreng wajah kejaksaan di tengah upaya membangun integritas Korps Adhyaksa.
Kekecewaan Jaksa Agung itu dinilai wajar.
Jaksa Agung sudah banyak menindak jaksa nakal, antara lain dengan mencopot puluhan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), namun kasus serupa terus terulang.
“Terlebih, saat ini publik menangkap ada disparitas kinerja antara Kejagung dengan kejaksaan di daerah. Gebrakan Kejagung terbilang luar biasa, tapi oknum di daerah banyak dilaporkan jual beli perkara,” kata dia.
Menurut dia, keberanian Kejagung mengungkap kasus korupsi besar membangkitkan harapan masyarakat antikorupsi di daerah. Namun, harapan itu tak sepenuhnya berbanding lurus dengan kinerja kejaksaan di daerah. Sehingga, Kejagung seolah menjadi satu-satunya tumpuan masyarakat.
“Makanya banyak yang melapor oknum jaksa ke Kejagung, ke JAMWAS atau Satgas 53. Ini tak dapat dihindari,” terang dia.
Baca:
Komjak Selidiki Alasan Kejaksaan Belum Eksekusi Terdakwa Wenhai Guan
Dia meminta Jaksa Agung memperbaiki pengawasan kejaksaan di daerah agar tidak ada lagi jaksa yang bermain. Sedangkan, sejumlah jaksa yang sudah dilaporkan harus segera diproses secara transparan dan akuntabel.
Jaksa Agung ST Burhanuddin (tengah). Foto: Bary Fathahilah/MI
Dia juga mengapresiasi langkah Jaksa Agung yang menargetkan Kejati dan Kejari agar menuntaskan dua perkara korupsi dalam setahun. Namun, dia menilai target itu terlalu kecil dan tidak akan efektif bila tidak disertai mekanisme evaluasi yang memadai.
“Sudah rahasia umum, praktik korupsi itu ada di mana-mana. Tinggal penegakannya saja yang dioptimalkan,” ungkapnya.
Akademisi Universitas Assyafiiyah itu memahami kejaksaan harus profesional dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, itu bukanh alasan untuk mengendapkan kasus korupsi apalagi mempermainkannya.
“Perlu target kinerja yang cukup disertai pengawasan ketat atas penanganan perkara,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)