Jakarta: Mahkamah Agung (MA) mengakui pengadilan di wilayah Sumatera Utara menjadi salah satu yang paling berisiko tersangkut kasus suap terhadap hakim. Karena itu, MA terus berupaya melakukan pengawasan dan pembinaan ke seluruh daerah, termasuk Sumatera Utara.
"MA melokalisir pengadilan-pengadilan yang berpotensi. Sumut itu boleh dikatakan risiko tinggi, jadi perhatian pengawasan dan pembinaannya harus ketat," kata Juru Bicara MA Suhadi di Gedung MA, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Agustus 2018.
Suhadi mengatakan, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara juga sudah diwanti-wanti perihal maraknya kasus suap di lingkungannya. Sebab, menurut dia, sebelum operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbaru, pihak Ombudsman berencana memantau kondisi peradilan di Sumut.
Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengatakan, MA juga tidak melarang Komisi Yudisial (KY) yang tengah memetakan sejumlah pengadilan negeri yang rawan korupsi dan suap. Sebab, menurutnya, KY dan MA memiliki peran sama dari sudut yang berbeda.
"MA secara internal, KY secara eksternal. Tanggung jawab sama menjaga harkat dan martabat hakim. Kemudian MA telah menempatkan Ketua PT Medan, mantan Dirjen, yang dikenal sangat disiplin, tentu sudah ada pertimbangan. Jadi tiap saat melakukan pembinaan dan tidak pernah dijadwalkan langsung sidak dan tiba-tiba. Ini bukti pimpinan sudah paham karakteristiknya," ujar Abdullah.
KY menyayangkan kasus tangkap tangan terhadap sejumlah hakim tindak pidana korupsi medan. KY mengaku telah memetakan masalah yang memicu penangkapan hakim yang kerap terulang di Medan, Sumatera Utara.
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, selama ini Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang terus dipantau. "Kami sedang memetakan penyebab hakim di Medan selalu rentan terhadap praktik-praktik suap atau korupsi. Tim KY sedang memeriksa pimpinan Pengadilan Tinggi Medan,” kata Jaja, Rabu kemarin.
(Baca juga: Hakim PN Medan Terima Suap Rp3 Miliar)
Sebelumnya, tiga aparatur peradilan di Sumatera Utara ditangkap KPK. Mereka yakni; Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, Hakim PTUN Medan Amir Fauzi dan Dermawan Ginting. Ketiganya terbukti menerima suap dari Pengacara OC Kaligis pada 2015 silam.
Terbaru, KPK menangkap tangan sembilan orang terkait kasus dugaan jual beli perkara di PN Medan. Empat orang menjadi tersangka, yakni Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan Merry Purba, panitera pengganti Helpandi, pemilik PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi, dan orang kepercayaan Tamin bernama Hadi Setiawan.
Hakim Merry diduga menerima duit suap total 280 ribu dolar Singapura (SGD) atau setara Rp3 miliar. Duit suap ini diduga untuk memengaruhi keputusan majelis hakim dalam perkara korupsi lahan.
Tamin diketahui menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 hektare dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar. Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan dissenting opinion.
Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin divonis pidana enam tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, dan uang pengganti Rp132 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.
Atas perbuatannya, hakim Merry dan Helpandi selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Tamin dan Hadi selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 (1) a atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Mahkamah Agung (MA) mengakui pengadilan di wilayah Sumatera Utara menjadi salah satu yang paling berisiko tersangkut kasus suap terhadap hakim. Karena itu, MA terus berupaya melakukan pengawasan dan pembinaan ke seluruh daerah, termasuk Sumatera Utara.
"MA melokalisir pengadilan-pengadilan yang berpotensi. Sumut itu boleh dikatakan risiko tinggi, jadi perhatian pengawasan dan pembinaannya harus ketat," kata Juru Bicara MA Suhadi di Gedung MA, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Agustus 2018.
Suhadi mengatakan, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara juga sudah diwanti-wanti perihal maraknya kasus suap di lingkungannya. Sebab, menurut dia, sebelum operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbaru, pihak Ombudsman berencana memantau kondisi peradilan di Sumut.
Kabiro Hukum dan Humas MA, Abdullah mengatakan, MA juga tidak melarang Komisi Yudisial (KY) yang tengah memetakan sejumlah pengadilan negeri yang rawan korupsi dan suap. Sebab, menurutnya, KY dan MA memiliki peran sama dari sudut yang berbeda.
"MA secara internal, KY secara eksternal. Tanggung jawab sama menjaga harkat dan martabat hakim. Kemudian MA telah menempatkan Ketua PT Medan, mantan Dirjen, yang dikenal sangat disiplin, tentu sudah ada pertimbangan. Jadi tiap saat melakukan pembinaan dan tidak pernah dijadwalkan langsung sidak dan tiba-tiba. Ini bukti pimpinan sudah paham karakteristiknya," ujar Abdullah.
KY menyayangkan kasus tangkap tangan terhadap sejumlah hakim tindak pidana korupsi medan. KY mengaku telah memetakan masalah yang memicu penangkapan hakim yang kerap terulang di Medan, Sumatera Utara.
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, selama ini Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang terus dipantau. "Kami sedang memetakan penyebab hakim di Medan selalu rentan terhadap praktik-praktik suap atau korupsi. Tim KY sedang memeriksa pimpinan Pengadilan Tinggi Medan,” kata Jaja, Rabu kemarin.
(Baca juga:
Hakim PN Medan Terima Suap Rp3 Miliar)
Sebelumnya, tiga aparatur peradilan di Sumatera Utara ditangkap KPK. Mereka yakni; Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, Hakim PTUN Medan Amir Fauzi dan Dermawan Ginting. Ketiganya terbukti menerima suap dari Pengacara OC Kaligis pada 2015 silam.
Terbaru, KPK menangkap tangan sembilan orang terkait kasus dugaan jual beli perkara di PN Medan. Empat orang menjadi tersangka, yakni Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan Merry Purba, panitera pengganti Helpandi, pemilik PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi, dan orang kepercayaan Tamin bernama Hadi Setiawan.
Hakim Merry diduga menerima duit suap total 280 ribu dolar Singapura (SGD) atau setara Rp3 miliar. Duit suap ini diduga untuk memengaruhi keputusan majelis hakim dalam perkara korupsi lahan.
Tamin diketahui menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Tamin menjual 74 hektare dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar. Merry adalah hakim yang berbeda pendapat dibanding hakim lainnya atau diistilahkan dissenting opinion.
Dalam putusan yang dibacakan pada 27 Agustus 2018, Tamin divonis pidana enam tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, dan uang pengganti Rp132 miliar. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar.
Atas perbuatannya, hakim Merry dan Helpandi selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Tamin dan Hadi selaku pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 (1) a atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)